Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

"Suluk" di Balik Dengung tentang Kearifan Lokal

Diperbarui: 15 Januari 2020   16:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto : Majalah Sabana

"Lha koq moro-moro ngekon lokal kui ngopo?" kata Mbah Nun ketika menghadiri peluncuran Majalah Sabana edisi ke-12. Kita sendiri tidak menyadari kalau sejak awal sudah tidak lokal. Semua cara pandang dan perspektif disini sedang memandang nuansa yang dibawa tentang kearifan lokal, yang tentu bergantung dan berkaitan pada di wilayah seperti apa kita tinggal.

Apakah kearifan lokal itu sendiri menjadi jargon karena ada istilah baru, yaitu local wisdom? Jika kita menarik rentang waktu mundur sedikit ke belakang, adakah kearifan lokal itu timbul sebagai akibat dari pengaruh derasnya arus global? Misalnya, westernisasi, universality, globalisasi. Bangsa ini sendiri saja tidak sadar sudah terlalu taqlid kepada UU Belanda dan seterusnya, lalu mengapa tiba-tiba ingin kembali ke kearifan lokal?

Kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari mungkin juga tidak sadar ketika masuk ke dalam toilet, disitu nampak jelas bahwa soal kloset pun sudah tidak lokal. Tidak usah bergeming dan terlalu larut dalam perbedaan yang seharusnya tidak terlalu dipermasalahkan. Kita mesti memiliki kedaulatan cara pandang, bahwasanya ketika datang permasalahan pertanyaan lokal atau tidak lokal, kita mampu menjawabnya dengan kebijaksanaan perombakan. Tunjukkan bahwa kita sudah memiliki kesadaran dan tidak lagi bermental domba, yang rela digiring kesana kemari.

Pembahasan pun dlanjut ke lain topik, yakni "Seks dalam Serat Centhini" yang ditulis oleh salah satu narasumber yang merupakan salah satu dosen UGM. Dalam pembahasannya, di dalam Serat Centhini sendiri merupakan ajaran mengenai ilmu-ilmu tasawuf, yang juga bisa dimaknai layaknya suluk. Menurut Mbah Nun, Suluk sendiri merupakan perjalanan batin. Sebuah perjalanan yang nanti tergantung pada niat dan kesiapan pejalan itu sendiri.

Perjalanan batin itu sendiri merupakan sebuah rangkaian. Untuk bisa dinamakan perjalanan pun sudah pasti membutuhkan subjek, dengan seperangkat peralatanan untuk mencapai sebuah tujuan. Suluk ini pun perlu dicari di dalam diri kita masing-masing. Mbah Nun memberikan contoh untuk menemukan suluk pada diri sendiri layaknya ketika kita bisa menemukan makna meski tidak dari sastra, ketika menemukan keindahan meski tidak dari warna sebuah lukisan, atau ketika sanggup menemukan keakraban meski tidak dari ekspresinya.

Ya, pertemuan dalam peluncuran Majalah Sabana ini adalah alat (tarekat) untuk menuju dunia sastra. Semua yang berkumpul disini adalah mereka yang tertarik oleh sastra. Bahkan, seleksi alam pun sepertinya sudah nampak berlaku pada malam hari ini jika dibandingkan dengan peluncuran majalah sebelumnya. Mereka yang setia berproses, mereka yang mencintai, mereka yang tulus bahkan serius dengan dunia sastra. Meskipun, parameter yang dipakai pun tidak bisa distandarisasi secara umum.

Bapak Sutiyoso Wijanarko menenggapi sesuatu yang telah disampaikan oleh Mbah Nun sebagai petuah yang mencerahkan. Hadir pula, Bapak Brotoseno, yang diperintah gurunya untuk membersamai di depan. Guyonan pun keluar yang memang sudah menjadi ciri Pak Brotoseno, sedikit yang menarik dari apa yang disampaikan oleh beliau, bahwa guru yang baik adalah menjadikan muridnya lebih baik dari capaian gurunya. Tentu ketika Pak Brotoseno menyampaikan hal tersebut, matanya sambil melirik-lirik ke arah Mbah Nun. Meski terkesan ngece, namun sebenarnya beliau hanya hendak menyampaikan isyarat kemesraan, bahwa seorang guru tersebut (Mbah Nun) telah berhasil mendidik muridnya dengan sangat baik.

Dalam kehidupan ini, lebih banyak yang tidak kita ketahui daripada apa yang kita ketahui. Mbah Nun pun tak lupa mengingatkan tentang belajarlah membaca ayat-ayat yang tidak difirmankan. Tentang bagaimana, menggunakan apa, pada saat apa untuk membaca ayat yang tidak difirmankan tersebut memang bukan perkara mudah. Terlebih jika diri sendiri sudah terbiasa dilatih dengan segala bentuk formalitas yang kaku. Sehingga tidak terbiasa melakukan innovasi, intuisi bahkan imajinatif karena akan dianggap "aneh", tentu pada akhirnya tergantung subjek pelakunya.

foto : Majalah Sabana

Transendensi ilmu yang sebegitu bergantungnya kepada sesuatu, atau bahkan mungkin seorang tokoh. Betul jika ilmu membukakan pintu menuju cahaya, namun kita juga mesti sanggup menjaga amanah ketika dibekali suatu ilmu, salah satunya dengan diamalkan. Seluruh amalan merupakan gagasan mengenai kebaikan, dan disimpan secara rohaniah. Dan itu mungkin baru bisa dimaksimalkan ketika kita hidup bersosial dengan lingkungan sekitar, yang nantinya mungkin timbul tendensi, semoga ilmu yang diamalkan sanggup bermanfaat.

Tapi, apakah itu hanya berlaku ketika hidup anda kompatibel antara satu dengan yang lain? Bagaimana jika kita berbenturan ketika sedang dihadapkan dengan gagasan yang berlawanan dengan ilmu yang kita anggap baik? Biasanya kita akan memperkuat pembenaran dengan membawa-bawa "nama" entah itu siapapun. Lhoh, kenapa membawa-bawa yang lain jika kamu tidak bisa bertanggung jawab kepada ilmu setidaknya kepada diri sendiri?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline