Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Tertindas, Tapi Minta Bonus Karunia

Diperbarui: 1 Juni 2019   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: pixabay

"menganiaya atau dianiaya?"

"memfitnah atau difitnah?"

Dan lain sebagainya pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang dilontarkan Simbah pada waktu itu. Sederhana, namun hal tersebut akan memberi sedikit pemahaman tentang jalan apa yang kita pilih selama ini dalam kehidupan. Manusia yang memilih jalur aman dengan tidak menengarai keduanya mungkin diberi kelebihan rasa aman dalam hidupnya atau ikut arus saja yang akhirnya mengikis potensi peejuangannya.

Kedua sikap yang saling bertolak-belakang ini memungkinkan kita untuk menyelami rasa. Rasa yang pada akhirnya bermuara pada akhlak yang baik. Kebanyakan memang tidak sadar dalam memilih sikap tersebut dikarenakan kebenaran yang telah dianggapnya benar. Yang justru makna tentang benar itu sendiri yang sering menjebak.

Jika apa yang diambil adalah tentang akhlak, kemungkinan besar yang akan terjadi mesti kita akan jadi kaum yang tertindas, mengapa demikian? Karena kita tidak memilih untuk menang dan lebih mengutamakan untuk menjaga ikatan tali persaudaraan.

Perbedaan pendapat itu memang seharusnya ada dalam proses pembelajaran. Tanpa perbedaan tidak mungkin akal pikiran berikutbrasa akan mengalami transendesi olah rasa yang memungkinkan dirinya memiliki akhlak yang mendekati kebaikan.

Disamping itu naluri manusia selalu menghindarkan diri untuk tidak menanggung rasa sakit. Disaat rasa sakit itu sendiri merupakan jalan menuju kemuliaan. Dalam budaya jawa, jika seorang balita mengalami sakit demam hingga menjadi rewel, biasanya malah dianggap jika balita itu akan naik akalnya atau lebih pintar disaat dirinya sembuh.

Jika seorang balita rasa sakitnya dianggap akan meninggikan akalnya, begitupun dalam usia-usia yang lain. Tentu saja semakin dewasa proses kedaulatan berpikirnya, rasa sakit yang datang pun pasti akan memiliki variasi yang memungkinkan orang yang sakit akan mengalami kesadaran pada tingkat berpikir tertentu. Hingga setelah sembuh, pengalaman akan rasa sakit yang pernah diembannya menjadi sebuah pembelajaran yang tidak dapat diambil dalam lingkungan sosial. Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik?

Tertindas pun bukan berarti mengalah. Mungkin saja ngalah tersebut adalah ng-Allah demi terjaganya kestabilan keamanan agar tidak terjadi gesekan-gesekan yang berpotensi menimbulkan kerusuhan bahkan hingga kehancuran tanah airnya sendiri. Sehingga membiarkan orang-orang yang berkuasa bertindak sesukanya.

Asalkan kita tetap teku dan rajin, hal tersebut tidak akan berpengaruh banyak. Toh, jika yang ditakutkan hanyalah sebatas rejeki yang mungkin tidak terbagi rata, itu hanya akan menurunkan derajat kita dihadapanNya. "Min haitsu la yahtasib" tidak akan berpengaruh pada siapa yang berkuasa dengan catatan kita selalu menanamkan rasa "faidza faraghta fanshob, wa illa robbika farghob".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline