Lihat ke Halaman Asli

TATIA NUR FAUZIYAH

Mahasiswi Universitas Islam Negeri Malang

Melepas Rantai Eksploitasi:Menyingkap Praktik Pemeliharaan, Hiburan, dan Ancaman Zoonosis pada Primata MEP dan Beruk Di Indonesia

Diperbarui: 11 September 2025   20:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi baik flora maupun fauna, serta disebut negara yang kaya akan sumber daya alam. Berdasarkan sifatnya, sumber daya alam dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu sumber daya alam yang dapat di perbaharui dan sumber daya alam tak dapat diperbaharui. Sumber daya alam tak dapat diperbaharui merupakan sumber daya alam yang jumlahnya terbatas, memerlukan waktu yang lama dalam proses pembentukannya dan jika digunakan terus-menerus mengakibatkan kelangkaan. Sedangkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui merupakan sumber daya alam yang dapat terus ada selama di jaga dan tidak dieksploitasi secara berlebihan. Salah satu contoh sumber daya alam yang dapat di perbaharui adalah hewan.

             Hewan sebagai sumber daya alam memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem sekaligus memberikan manfaat langsung bagi manusia, seperti sumber pangan, penunjang ekonomi, hingga nilai budaya. Namun, keberadaan hewan di Indonesia menghadapi berbagai ancaman serius, diantaranya kehilangan habitat, perburuan, perdagangan illegal, dan eksploitasi. Meskipun hewan tergolong sumber daya alam yang dapat diperbaharui, dengan dilakukan ekspoitasi berlebihan, perburuan, serta kerusakan habitat dapat menyebabkan jumlahnya terus menurun. Dua isu konservasi yang saat ini cukup menonjol adalah terkait Monyet Ekor Panjang (MEP/ Macaca fascicularis) dan Beruk (Macaca namestrina). Menurut IUCN Red List, Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) telah ditetapkan sebagai Endangered sejak 2022, akibat penurunan populasi drastis yang dipicu oleh perdagangan untuk kebutuhan penelitian biomedis, konflik manusia-satwa, dan deforestasi masif di Asia Tenggara. Di sisi lain, Beruk (Macaca nemestrina) juga masuk dalam kategori Endangered, dengan estimasi penurunan populasi lebih dari 50 % dalam tiga generasi terakhir.

            Kedua spesies primata ini sering dimanfaatkan manusia dengan cara yang justru merugikan keberlangsungan hidup mereka. Monyet Ekor Panjang kerap dijadikan peliharaan atau dipaksa untuk tampil dalam pertunjukan tradisional "topeng monyet". Dalam praktik tersebut hewan dipaksa melakukan atraksi dengan cara yang tidak sesuai dengan perilaku alaminya, bahkan sering mengalami perlakuan kasar, stes, dan malnutrisi. Pemerintah DKI Jakarta sempat melarang tradisi ini pada tahun 2013, namun praktik serupa masih berlangsung di daerah lain secara illegal. Hal yang sama juga berlaku pada pemeliharaan  MEP sebagai satwa peliharaan, yang sebagian besar berasal dari tangkapan liar. Laporan ProFauna Indonesia (2021) mencatat bahwa sekitar 60% primata yang dijual di pasar satwa di Jakarta merupakan hasil tangkapan dari alam, yang jelas memperburuk kondisi populasi.

             Beruk juga tidak lepas dari eksploitasi manusia. Dibeberapa daerah terutama di Sumatera dan Riau, beruk telah  lama digunakan sebagai pekerja dalam perkebunan kelapa. Mereka dilatih untuk memanjat pohon dan memetik buah kelapa, yang merupakan suatu praktik yang efiisien bagi petani. Namun, pelatihan ini kerap dilakukan dengan metode kekerasan, termasuk penggunaan rantai dan kekerasan fisik, sehingga menimbulkan dilema etis terkait kesejahteraan satwa. Tidak jarang pula beruk dijadikan tontonan hiburan, yang  memperlihatkan bahwa satwa ini hanya di posisikan sebagai objek ekonomi dan budaya, tanpa memperhatikan kesejahteraan dan kelestariannya.  Jika ditelaah dari aspek hukum, sebenarnya Indonesia sudah memiliki regulasi perlindungan satwa liar, antara lain UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun, lemahnya pengawasan serta minimnya kesadaran masyarakat menjadikan regulasi ini belum berjalan optimal. Kasus penjualan primata di pasar satwa, eksploitasi dalam hiburan, hingga penggunaan dalam perkebunan masih berlangsung secara terbuka. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di lapangan. 

            Selain persoalan etika dan konservasi, eksploitasi MEP dan Beruk juga menimbulkan ancaman serius terhadap kesehatan manusia. Kontak erat antara manusia dan primata membuka peluang penularan penyakit zoonosis. Studi di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur menemukan bahwa prevalensi infeksi parasit gastrointestinal pada monyet ekor panjang berpotensi menular kepada manusia. Lebih jauh lagi, primata diketahui dapat membawa penyakit berbahaya seperti Herpes B, Tuberkulosis, hingga simian retrovirus. Kondisi ini menunjukkan bahwa eksploitasi satwa tidak hanya merugikan hewan itu sendiri, tetapi juga berpotensi mengancam kesehatan manusia.

            Dengan demikian, meskipun MEP dan Beruk tergolong  sumber daya alam  yang dapat diperbaharui, praktik pemanfaatan yang bersifat eksploitatif justru menjadikan keduanya rentan terhadap kepunahan. Tujuan di kaji lebih jauh terkait  isu ini karena menyangkut hubungan antara kepentingan manusia, kesejahteraan publik, serta keberlangsungan ekosistem di Indonesia. Lalu bagaimana solusi sudut pandang yang inovatif dan berbobot dalam permasalahan ini?

            Konservasi Monyet Ekor Panjang (MEP) dan Beruk membutuhkan pendekatan baru yang mampu menjawab akar masalah yaitu tingginya interaksi manusia-satwa, lemahnya ekonomi alternatif, serta minimnya inovasi dalam pengelolaan konservasi. Jika solusi hanya seperti edukasi, rehabilitasi, atau penegakan hukum, maka masalah eksploitasi akan terus berulang. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi yang lebih kreatif, berbasis komunitas, dan didukung teknologi mengingat pesatnya teknologi yang luar biasa.

            Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah pengembangan primata berbasis Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR). Konsep ini memungkinkan masyarakat, khususnya anak-anak dan wisatawan untuk belajar mengenai perilaku alami MEP dan Beruk melalui pengalaman imersif tanpa harus berinteraksi langsung dengan satwa. Teknologi seperti ini sudah diterapkan oleh Conservation International melalui film VR My Africa, yang berhasil meningkatkan empati publik terhadap satwa liar. Jika di terapkan di Indonesia, misalnya di kebun binatang atau pusat konservasi, program ini dapat menggantikan hiburan eksploitatif seperti pertunjukan jalanan, sekaligus membuka peluang ekonomi kreatif berbasis ekonomi digital. 

            Selain itu, dapat dikembangkan program adopsi digital satwa yang dikelola oleh lembaga konservasi lokal. Program ini memberi  kesempatan masyarakat untuk mengadopsi MEP atau Beruk secara simbolis melalui platform daring, dan sebagai gantinya mereka menerima update berupa foto, video, atau laporan kesehatan satwa. Model serupa terbukti berhasil di Najing, Tiongkok, dengan program adopsi digital kebun binatang yang menarik ribuan partisipan. Di Indonesia, mekanisme ini dapat diintegrasikan dengan sistem donasi berbasis aplikasi, sehingga masyarakat tetap merasa terhubung dengan satwa tanpa harus memilikinya secara illegal.

            Lebih jauh, solusi jangka panjang dapat diarahkan pada integrasi MEP dan Beruk dalam konsep agroforestri modern. Alih-alih memanfaatkan Beruk untuk memetik kelapa dengan cara konvensional, teknologi sensor pohon dan robotic harvester dapat menggantikan peran tersebut. Namun, agar masyarakat tidak kehilangan nilai ekonomi dari satwa, keberadaan MEP dan Beruk bisa dimanfaatkan dalam agroforestri konservatif, di mana keberadaan primata membantu penyebaran biji dan menjaga ekosistem kebun tetap seimbang.

            Contoh nyata yang bisa dikembangkan di Indonesia adalah konversi lahan eks-perkebunan menjadi "Kampung Konservasi Primata". Misalnya, di Sumatra atau Riau, kampung yang dulu mengandalkan Beruk untuk memetik kelapa dapat dialihkan menjadi desa wisata konservasi yang menampilkan atraksi edukatif tanpa satwa bekerja, melainkan menampilkan simulasi digital, jejak perilaku alami, serta interaksi aman dengan satwa liar di kawasan semi-liar. Dengan begitu, masyarakat tetap memperoleh pemasukan dari sektor pariwisata dan UMKM, sementara satwa dilindungi dari eksploitasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline