Lihat ke Halaman Asli

Tulus Abadi

Ketua Pengurus Harian YLKI

Gempa dan Kualitas Bangunan Publik

Diperbarui: 5 Oktober 2018   16:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Oleh: Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI

Belum kering air mata warga Lombok akibat digoyang gempa bumi beberapa pekan silam,  kini air mata kembali mengalir, bahkan mungkin lebih deras, manakala warga Kota Palu, Donggala dan sekitarnya porak poranda, pasca di hantam gempa 7,4 skala Richter (Jum'at, 28/10/2018) plus diterjang tsunami. Hingga tulisan ini dibuat (Jum'at, 05/10/2018) lebih dari 1.300-an orang dinyatakan meninggal dunia, ratusan lainnya dinyatakakan hilang, dan ribuan luka-luka. Data tersebut baru didapat mayoritas dari korban di Kota Palu, belum lagi di Kota Donggala dan Sigi. Korban akan terus bertambah.

Selain korban jiwa, dampak utama gempa adalah rusaknya/robohnya rumah penduduk, tempat ibadah, fasilitas publik, infrastruktur seperti jalan dan jembatan, dan juga bangunan publik seperti hotel dan atau pusat belanja. Terkait gempa Palu,  beberapa bangunan/gedung publik seperti mal dan hotel rusak berat, bahkan roboh, rata dengan tanah. Hotel Roa roa, hotel berbintang tiga, rata dengan tanah; diperkirakan 50-60 orang yang terperangkap di dalamnya. Juga "Jembatan Kuning", sebuah jembatan yang dibangun pada 2006, dan menjadi icon Kota Palu, runtuh, terbelah dua.

Jika yang roboh bangunan penduduk yang memang dibuat ala kadarnya, masih bisa dimaklumi jika tak mampu menahan goyangan gempa. Selain persoalan ekonomi, selama ini nyaris tak ada edukasi perihal bagaimana membuat bangunan/rumah yang tahan gempa.

Namun jika hal itu terjadi pada bangunan publik, seperti mal, hotel, gedung pemerintah dan juga jembatan; persoalannya menjadi lain. Runtuhnya bangunan publik saat gempa, bukan hanya kasus di Palu saja, atau Lombok; tetapi kerap terjadi di berbagai lokasi di Indonesia. Kejadian semacam ini jelas sangat menimbulkan rasa takut, tidak nyaman, bahkan mengancam safety konsumen sebagai pengguna bangunan atau gedung publik. 

Robohnya bangunan publik saat gempa bisa ditengarai adanya beberapa hal; pertama, meragukan kualitas bangunan publik tersebut, yang sangat mungkin dibuat tidak sesuai standar, tidak sesuai spek, yakni menggunakan material beton berstandar rendah. Karena itu patut diduga ada pelanggaran secara sengaja terhadap proses pembangunan gedung publik tersebut. 

Ketiga, adanya kelalaian atau kesengajaan pengawas selama proses pembangunan gedung publik. Pengawas tahu ada pelanggaran selama proses pembangunan, tapi dibiarkan, cincailah. Atau bisa jadi bangunan itu dibuat tanpa adanya pengawas. 

Keempat, patut diduga adanya tindakan koruptif oleh kontraktor dan konco-konconya. Mereka bersekongkol untuk mengurangi anggaran, mengurangi spek, dan ending-nya adalah buruknya kualitas bangunan publik. Dan klimaks dari pelanggaran itu adalah runtuhnya bangunan publik saat digoyang gempa, atau bencana alam lain, atau bahkan roboh sebelum waktunya.

Secara regulasi, setidaknya ada dua produk regulasi yang dilanggar atas robohnya bangunan publik saat gempa. Pertama, melanggar kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen, sebagaimana dijamin dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen. 

Konsumen membayar mahal untuk menginap di hotel, tapi ongkos yang mahal itu nir jaminan atas kenyamanan, keamanan dan keselamatannya. Seharusnya hal ini menjadi prasyarat yang fundamental saat menggunakan produk barang atau jasa, termasuk hotel, restoran dan mal. 

Kedua, secara keseluruhan dugaan  pelanggaran terhadap UU No. 12 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Pelanggaran itu bisa pada konteks persyaratan administratif, persyaratan tata bangunan, persyaratan keandalan, persyaratan keselamatan, plus persyaratan budaya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline