Lihat ke Halaman Asli

Naila Syafaah

Law and research enthusiast

Advokasi: Peran Organisasi Perca Mengatasi Permasalahan Perkawinan Campuran

Diperbarui: 26 Juni 2020   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di era digital seperti sekarang ini, individu dalam suatu negara akan dengan mudah berinteraksi dengan individu atau kelompok di negara lain, dalam praktiknya di Indonesia perkawinan tidak hanya   dilakukan oleh sesama Warga Negara Indonesia saja, akan tetapi perkawinan juga dilakukan oleh Warga Negara Indonesia   dengan   Warga   Negara   Asing.   

Perkawinan  ini  disebut   dengan perkawinan campuran. Perkawinan campuran terdapat rumusannya di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tetapi hanya terdapat di dalam Pasal 56-Pasal 60 mengenai definisi dan tata cara pelaksanannya. 

Berdasarkan realita sosial mengenai perkawinan campuran ini, ada berbagai permasalahan yang didapat akibat pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda kewarganegaraan dan berbeda norma hukum yang mengaturnya. 

Permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku perkawinan campuran ini bukan hanya masalah administratif, tetapi juga permasalahan hukum seperti pencatatan pernikahan, perjanjian pernikahan, harta bersama, waris dan wasiat, hak-hak anak, dan   ijin   tinggal   bagi   pasangan   kawin   campur.   

Seringkali   para   keluarga perkawinan  campuran  ini  mendapat  banyak  permasalahan  mengenai  peraturan atau  perundang-undangan  yang  sudah dianggap  tidak  relevan  untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi, namun para keluarga perkawinan campuran tidak memiliki wadah aspirasi untuk menyuarakan berbagai macam permasalahan tersebut.

Di Indonesia, lebih dari 3 juta warga negara Indonesia (WNI) yang melakukan perkawinan campur dengan warga negara asing (WNA) meminta agar pemerintah mempermudah keluarganya menjadi WNI.1  Sebagai sampel, jumlah pasangan kawin campur di Kota Malang, Pasuruan, Surabaya berjumlah 201 orang.

2  Sejumlah 201 orang tersebut merupakan pasangan kawin campur yang memiliki permasalahan keluarga terkait perkawinan campuran. Permasalahan tersebut seperti perjanjian kawin, pencatatan perkawinan, perkawinan dwi- kewarganegaraan, permasalahan kewarganegaraan anak, waris dan wasiat dengan pasangan WNA, serta hak ijin tinggal sementara dan hak ijin tinggal tetap.

Namun  Undang-Undang  saat  ini  belum  mampu  mem-back-up  beberapa kasus perkawinan campur. Padahal muncul berbagai permasalahan yang diakibatkan dari kekosongan hukum yang mengatur tentang perkawinan campur ini, seperti pencatatan pernikahan, perjanjian pernikahan, harta bersama, waris dan wasiat, hak-hak anak, dan ijin tinggal bagi pasangan kawin campur, yang peraturannya menjadi berbeda dikarenakan adanya dua kewarganegaraan yang berlainan menuntut agar bisa mendapatkan hak-hak keperdataan sama seperti pasangan perkawinan perkawinan biasa. 

Pada umumnya, para pasangan perkawinan akan mengajukan gugatan ke Pengadilan apabila mereka tidak mendapatkan hak-hak atau jika terdapat permasalahan keluarga. 

Namun karena pelaku perkawinan campuran masih belum memiliki naungan hukum yang pasti berupa Undang-Undang khusus yang mengatur hal tersebut, maka menjadi sulit bagi para pasangan campur untuk menuntut hak mereka apabila terjadi permasalahan. 

Berawal dari adanya ketidakpastian hukum bagi para keluarga perkawinan campuran ini menyebabkan adanya inisiatif dari seorang pelaku perkawinan  campuran  untuk mendirikan  sebuah  organisasi  masyarakat perkawinan campuran Indonesia atau disebut Organisasi Perca Indonesia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline