Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Catatan Terkait DPLK untuk RUU P2SK, di Mana Peluang dan Tantangannya?

Diperbarui: 13 Oktober 2022   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Perkumpulan DPLK

Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) kini dalam pembahasan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI pun menggelar berbagai forum konsultasi publik dalam rangka menerima masukan dari pemangku kepentingan sebagai bagian dari proses meaningful participation. Agar nantinya RUU P2SK mampu menjadi tonggak reformasi di sektor keuangan yang lebih baik secara regulatory maupun implementasi di lapangan, termasuk sektor jasa keuangan "Dana Pensiun".

Setelah 30 tahun menanti, industri Dana Pensiun yang diatur dalam UU 11/1992 kini akhirnya bisa "sedikit bernafas lega" akan adanya perbaikan regulasi di level UU dan turunannya nanti. RUU P2SK ini dapat dikatakan "mencabut" UU 11/1992. Sebagai bagian pengembangan dan penguatan industri dana pensiun di Indonesia. Khususnya dalam upaya mempersiapkan program pensiun para pekerja di Indonesia. Agar lebih nyaman, lebih sejahtera di hari tua. 

Sesuai dengan draft RUU P2SK khususnya klaster Dana Pensiun, Perkumpulan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (PDPLK) bersama anggotanya memberikan catatan khusus saat diskusi "ngopi virtual" untuk beberapa pasal yang ada (12/10/2022). Dipandu oleh Pak Steven Tanner, poin-poin sesi diskusi "Apa dan Bagaimana RUU P2SK Klaster Dana Pensiun" dapat dicermati sebagai berikut:

1. Pasal 132 ayat 3) Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dibentuk oleh badan hukum yang memiliki ijin kegiatan sebagai: a) bank umum; b) bank umum syariah; c) perusahaan asuransi jiwa; d) perusahaan asuransi jiwa syariah; e) manajer investasi; f) manajer investasi syariah; atau g) lembaga lain yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan OJK setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

Hal ini berarti, penyelenggara DPLK tidak lagi hanya bank umum dan asuransi jiwa. Maka, pelaku DPLK akan bertambah dan persaingan semakin ketat untuk merebut pangsa pasar program pensiun yang memang masih sangat besar. Spiritnya, tentu untuk memacu pertumbuhan DPLK di waktu-waktu mendatang. 

2. Pasal 133 ayat 5) menegaskan "Dana Pensiun tidak dapat menyelenggarakan program yang hanya memberikan manfaat lain, tanpa menyelenggarakan Program Pensiun". Hal ini berarti, "manfaat lain" hanya bersifat tambahan/pelengkap dari Program Pensiun yang utama. Maka implikasinya, aset Program Pensiun dan aset manfaat lain wajib dicatat secara terpisah. Porsi iuran pada Program Pensiun wajib pun lebih besar dibanding iuran untuk manfaat lain. 

Artinya ke depan, sebagai contoh, iuran pendanaan pesangon tidak boleh lagi "lebih besar" dari iuran Program Pensiun yang utama. Sehingga penyelenggaraan manfaat lain yang menggunakan sistem pendanaan (adanya pemupukan dana sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan pembayaran manfaat lain dimaksud) dapat diberikan fasilitas insentif perpajakan.


3. Pasal 138 ayat 1) Dana Pensiun wajib menerapkan: a) prinsip tata kelola Dana Pensiun yang baik; dan b) manajemen risiko yang efektif, dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. Maka artinya, prinsip-prinsip tata kelola dan manajemen risiko harus menjadi prioritas penyelenggaraan dana pensiun.

4. Pasal 139 ayat 3) Pengurus dilarang merangkap jabatan sebagai pengurus Dana Pensiun lain atau anggota direksi atau jabatan eksekutif pada badan usaha lain. Dengan begitu, istilah PLT (Pelaksana Tugas Pengurus) dapat dikatakan "tidak ada lagi", berubah menjadi "Pengurus DPLK". Mungkin nanti, nomenklatur-nya dapat disepakati. Dan tidak kalah penting, pengurus dan dewan pengawas yang ditunjuk harus memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai terkait bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Misalnya dibuktikan dengan antara lain: latar belakang pendidikan, lamanya bekerja, dan/atau sertifikasi.

5. Pasal 141 ayat 1) Usia Pensiun Normal untuk pertama kali ditetapkan paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun. Usia Pensiun Normal ini akan direviu dan ditetapkan secara berkala paling lambat setiap 3 (tiga) tahun sekali dengan mempertimbangkan angka harapan hidup dan kondisi makroekonomi. Hal ini berarti UPN 40 tahun dalam PDP DPLK tidak boleh lagi. Maka peraturan turunan patut dikawal, khususnya bila ada perusahaan yang memang UPN-nya di bawah 55 tahun. Artinya, bisa jadi UPN itu sesuai ketentuan perusahaan atau bila peserta mandiri, tetap patokannya adalah 55 tahun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline