Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Menekan Angka Putus Sekolah via TBM Lentera Pustaka

Diperbarui: 11 Oktober 2017   00:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

koleksi pribadi

Agak ironis. Bila pemerintah sedang gencar mengkampanyekan "pendidikan karakter" dan "full day school", ternyata secara factual masih banyak siswa yang berpotensi terancam putus sekolah. Hebatnya lagi, kondisi ini terjadi tidak jauh dari Jakarta; hanya sekitar 70 km atau sekitar 2 jam perjalanan dari Ibukota Jakarta.

 

Adalah Desa Sukaluyu Kec. Taman Sari Kab. Bogor. Angka statistik menunjukkan bahwa rerata tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya tamat SD mencapai 81,9%, tamat SMP 8,9%, dan tamat SMA 8,3%. Itu berarti, sekitar 90,8% tingkat pendidikan masyarakat hanya sebatas SMP.

Mengacu pada tersebut, saat ini di Desa Sukaluyu, terdapat sekitar 3.035 anak-anak usia sekolah. Dengan rentang usia 0-6 tahun mencapai 22% dan usia 7-12 tahun mencapai 37,5%. Bila memakai pola yang sama, maka ada potensi anak-anak sekitar 77,9% dari anak-anak usia SD hingga SMA di desa ini berpotensi putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah.

 

Memang ada banyak faktor yang menyebabkan seorang anak putus sekolah.

Faktor-faktor yang paling umum adalah 1) karena masalah ekonomi, yang menyebabkan ketidakmampuan keluarga si anak untuk membiayai kebutuhan sekolah, 2) karena rendahnya atau kurangnya minat anak untuk bersekolah, 3) karena tidak adanya perhatian orang tua termasuk "mind set" akan pentingnya sekolah bagi masa depan anak, 4) karena tidak adanya prasarana sekolah atau akses untuk bersekolah.

Apakah hanya faktor-faktor tersebut di atas?

Tentu bukan hanya itu. Ada lagi faktor yang penting dan bisa menyebabkan seorang anak putus sekolah. Ada 2 lagi faktor penting penyebab putus sekolah.

SATU, karena budaya yang menyangkut kebiasaan masyarakat. Tidak adanya budaya yang "membuat sadar" bahwa sekolah itu penting dan harus terus berlanjut, minimal hingga SMA. Budaya masyarakat yang "kurang tepat" dan beranggapan tanpa sekolah pun mereka dapat hidup layak. Maka wajar, jumlah anak yang tidak bersekolah lebih banyak terjadi di pedesaan.

KEDUA, karena sarana pendukung seperti taman bacaan masyarakat yang tidak ada atau tidak memadai. Sehingga anak-anak dan masyarakat tidak pernah mendapat "masukan" atau "bacaan" yang dapat menyadarkan akan arti penting sekolah bagi anak-anak.Banyak siswa di pedesaan atau di daerah yang kesulitan mendapat "akses buku bacaan" yang dapat memotivasi dan mengguggah "cara pandang" atau "budaya" yang selama ini salah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline