Lihat ke Halaman Asli

Syamsul Bahri

coretan seadanya berawal dari minum kopi.

Ketika Liga-liga Eropa Mulai Membosankan

Diperbarui: 10 Februari 2020   20:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi nonton pertandingan sepak bola di televisi. (sumber: SHUTTERSTOCK)

Dalam setahun terakhir, minat saya untuk menonton sepak bola Liga di Eropa terasa mengalami penurunan. Beda dengan sebelumnya, di mana malam Minggu dan Senin menjadi malam yang dinantikan untuk menyaksikan secara live laga klub andalan.

Ditambah lagi, laga Natal di Liga Inggris yang dikenal dengan Boxing Day. Termasuk juga, ketika klub andalan berlaga di Liga Champions yang disiarkan malam Rabu dan Kamis walaupun tidak setiap Minggu.

Menurunnya ketertarikan saya untuk menonton, salah satunya disebabkan karena prestasi klub andalan yang merosot. Biasanya dan sudah lumrah, prestasi klub dipengaruhi oleh kondisi keuangan klub dan situasi ruang ganti pemain. Baik hubungan antar pemain maupun antar pemain dengan pelatih.

Kondisi keuangan klub juga "memaksa" beralih untuk memberdayakan dan membina pemain muda. Klub elite Italia, AC Milan, menerapkan seperti ini ketika proses regenerasi pemain terlambat dilakukan. 

Pemain andalan yang mengantarkan Klub meraih prestasi dan bersaing dengan klub besar lainnya perlahan "termakan" usia dan mengalami penurunan drastis dalam permainan.

Ini yang terjadi pada sosok seperti Gattuso, Ambrosini, Seedorf, hingga Maldini yang merupakan pemain yang mengantarkan AC Milan berjaya bersama pemain lainnya seperti Ricardo Kaka dan Andre Sevchenko setelah era Ruud Gullit dan Van Basten.

Beda halnya dengan Klub kaya Liga Inggris, Manchester United. Klub yang tidak bisa Move On dari sosok pelatih, Sir Alex Ferguson. Prestasi klub tidak stabil dan cenderung merosot walaupun pernah ditangani Jose Mourinho yang diprediksi akan menjadi penerus kesuksesan Alex Ferguson menangani Klub tersebut.

Logo Premier League (sumber: premierleague.com)

Namun, tidak 100% kondisi keuangan klub mempengaruhi capaian prestasi. Sebutlah Leicester City, klub Liga Inggris yang diluar dugaan mampu menjuarai Liga Inggris 2016. Menurut saya, ini lebih karena faktor kejelian dalam berbelanja pemain dan tentunya ada harmonisasi dalam tim sehingga konsisten di setiap laga.

Sesuatu yang sangat berlebihan ketika keuangan Klub yang mampu membeli pemain bintang seperti Manchester City, Manchester United , Liverpool dan Chelsea di bandingkan dengan Leicester City. Tapi menurut saya, itu tadi, ada harmonisasi dalam tim.

Kondisi keuangan klub Eropa sangat dipengaruhi oleh siapa pemilik atau pemegang saham utama klub. Ini juga mulai terasa di Liga Indonesia yang lebih dikenal dengan Liga 1.

Beberapa klub peserta Liga seperti bersaing mencari dan merekrut pemain bintang. Stadion pun dibenahi, mulai dari tampilan, kenyamanan, hingga kapasitas tempat duduk. Harapannya banyak supporter menonton di stadion sehingga pemasukan klub bertambah. Tentunya, harus profesional dalam pengelolaan tiket.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline