Lihat ke Halaman Asli

Syahrul Chelsky

TERVERIFIKASI

Roman Poetican

Puisi | Saat Larut Malam

Diperbarui: 20 Juni 2019   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: pixabay.com/webbi

Suasana pucat terekam di tengah-tengah kota, pada tiang lampu di pinggir jalan, atau pada sudut sepi toko sepatu yang lupa arti kedatangan tamu.

Cerita tentang larut malam telah memasuki sepenggal ingatan yang rapuh.
Dan pendar cahaya kerlap-kerlip yang redup dari sebaris lampu kecil sebuah kafe hanya menawarkan kehampaan tidak berujung kepada hujan yang turun sewaktu aku memikirkanmu.

Aku tidak menemukan siapa-siapa.
Selain bayang-bayang yang tidak pernah berselingkuh selama cahaya tidak padam.
Tukang Sate barangkali sudah mau tidur, sambil mengipasi istri.
Tukang Jahit  mungkin masih merajut sweater di atas kepala anaknya yang bermimpi.

Malam ini hanya ada aku yang duduk dan kadang berdiri di puncak rasa kegagalan memiliki seseorang.
Serta sebuah bayangan yang tidak memiliki niat untuk meninggalkan.

Aku mencarimu di atas lagit-langit yang berair. Atau pada dinding dan lantai sebuah toko sepatu yang kotor dan bangkrut. Di bawah teras ruko berdebu yang aku anggap sebagai diriku,
memandangimu selagi berteduh dan selalu berharap agar hujan tidak pernah reda, supaya kamu tidak bisa pergi ke mana-mana.

Mungkin aku bisa hidup dalam kesedihan ini lebih lama. Sebagai benda mati yang melawan kehedak alam. Entah hujan atau malam. Tapi barangkali aku juga bisa lebih tabah dalam merelakanmu ketimbang apa pun.

Karena bagian paling menyakitkannya
bukan terletak pada sepasang mata
yang tidak lagi bisa melihatmu. Tetapi lebih kepada pertanyaan yang mengendap
Tentang kenapa dulu kita harus bertemu.

Sebagai seorang manusia, Aku merindukanmu tanpa pernah memiliki pilihan. Selain membiarkan waktu berjalan. Tanpa bertanya kenapa. Tanpa ingin tahu sejak kapan. Tanpa memikirkan dari mana. Tanpa kerumitan.
Dan tanpa kesengajaan. Terus terang, aku mencintaimu karena aku tahu tidak ada cara lain.

Tidak ada.

Tidak ada cara untuk tetap tersenyum selagi aku pergi ke sebuah kafe pada larut malam, dan melihat langit sedang basah atau memandangi kepucatan kota tanpa bertanya kabarmu di sana bagaimana.

***
Sudah pukul duabelas malam, di tengah-tengah kota yang kehilangan warna.
Tukang sate pasti sudah tidur bersama istri.
Tukang jahit dan anaknya mungkin sedang merajut mimpi.

Kerlap-kerlip lampu kafe telah padam,
bayanganku mendadak hilang.
Hanya ada aku, duduk dan berdiri kadang-kadang. Merindukanmu sendirian.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline