Lihat ke Halaman Asli

[FF150] Di Hari Pidato Berdarah

Diperbarui: 10 November 2015   18:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenalkan pahlawan sejak dini

******

Di sebuah Museum.

"Bu Guru, itu siapa?
Si anak menunjuk relief monograf perjuangan rakyat Jambi.

"Mereka adalah pasukan Selempang Merah, nak!"
"Kenapa mereka terbaring begitu, buk?"
“Mereka tewas mempertahankan negeri ini dari penjajahan Belanda, anakku!”

Pada hari itu, 20 Januari 1949.

Seorang komandan, tangannya mengepal seperti ingin meninju langit. Mukanya memerah, keringat mengalir dipipi. Rupanya dia sedang berpidato berapi-api, membakar semangat para pejuang rakyat.

“Kita punya bendera Merah-Putih. Kita mengakui Bung Karno sebagai pemimpin kita..! Kita mendengar Proklamasi menggema ke seantero negeri ini...Sekarang, Proklamasi itu yang memerintahkan kita untuk bertindak...Merdekaaa..Allahu Akbar!”

“Merdekaaa... Merdekaaa...Allahu Akbar..!” Hadirin yang mendengarkan hatinya kian terbakar api revolusi.

Pasukan Belanda datang, mengepung kota. Tiba-tiba, terdengar bunyi berondongan tembakan artileri mesin tertuju ke arah kerumunan itu.

Peluru berhamburan ke mana-mana, dan menewaskan banyak para pejuang rakyat. Darah mengalir. Di sini terjadi perlawanan hebat. Kontak senjata tak bisa dihindari. Pertempuran sangat sengit. Korban berguguran dari kedua belah pihak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline