Lihat ke Halaman Asli

Syaf Anton Wr

Rakyat Kecil

Tradisi “Toron” dan Nilai Solidaritas Persaudaraan Warga Madura

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Syaf Anton Wr

Toron (Madura) mempunyai makna “turun kebawah”, atau pulang kampung atau mudik. Namun makna toron pada dasarnya mempunyai makna lebih luas lagi, yaitu membangun kembali solidaritas yang mengarah jalinan tali silaturrahmi antar keluarga dan kerabat orang Madura yang di tanah kelahirannya.

Dengan toron, keutuhan dan keakraban antar warga Madura akan tetap terjalin semakin rapat dan mesra. Untuk itu, ketika orang Madura pada saatnya mudik, tentu telah mempersiapkan diri dengan bekal-bekal bawaan yang secara formalis sebagai oleh-oleh, sekaligus sebagai bentuk manifestasi dari keterikatan kekeluargaan, meski mereka harus merantau sejauh mana meninggalkan tanah kelahirannya.

Ada tiga peristiwa penting bagi warga Madura untuk toron. Yang pertama, yaitu pada saat lebaran Hari Raya Idul Ftri, Hari  Raya Idul Adha dan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Selain tiga peristiwa tersebut, toron bisa dilakukan setiap  saat.

Pada saat Idul Fitri secara umum dilakukan hampir suluruh warga Madura harus toron, tanpa melihat siapa dan apa urusan mereka di tanah rantau. Hal ini sama dengan ummat muslim lainnya. Namun pada saat Hari Raya Idul Adha, yang kemudian disebut Hari Raya Besar atau Hari Raya Reaje (rajhe), toron umumnya dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah pedesaan, yang note bene mempunyai wilayah tradiri kekerabatan yang sangat kental dan kuat.

Panutan masyarakat Madura terhadap tokoh, kiyai, ulama, guru dan orang tua tentu menjadi tolok ukur tingkat pengabdiannya terhadap sesepuh dan pendahulu mereka. Hal ini juga diimplementasikan pada saat Peringatan Maulud Nabi Besar Muhamad SAW. Kesungguhan masyarakat Madura terhadap panutan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, tidak sekedar melaksanakan sunnah-sunnahnya, namun lebih jauh lagi mempunyai makna yang dalam terhadap peristiwa itu dengan melakukan tindakan nyata, yaitu memeriahkan hari besar Islam tersebut dengan berbagai katifitasnya.

Khususnya untuk Hari Raya Besar dan Peringatan Maulud Nabi, telah menjadi simbol tingkat keperhatian masyarakat Madura terhadap solidaritas dan tali persaudaraan : bila cempa palotan, bila kanca taretan, merupakan manifestasi nilai persaudaraan dan kekerabatan.

Bagai orang Madura toron tidak akan merendahkan martabat orang Madura, sebagaimana dihawatirkan Bupati Pamekasan Kholilurrahman, (oase kompas.com), karena kata dalam bahasa Madura mempunyai makna tersendiri. Dengan toron justru akan memgembalikan jatidiri dan kodratnya sebagai manusia Madura. Dan saya pikir biarlah istilah toron berjalan secara alamiah, sebab toron sendiri merupakan bagian peristiwa budaya yang tidak lepas dari tingkah laku masyarakat (Madura) yang menjalankannya.

Dalam posisi  ini tidak ada bedanya istiralah “carok”, yang bermakna negatif dimata orang luar, yang tidak mungkin diganti dengan ucapan atokar (bertengkar) dan sejenisnya, karena toron sendiri, pada akhirnya menjadi simbol nilai kekerabatan orang Madura.

Meski ada toron tidak ada sitilah ongga (naik), karena ketika orang Madura kembali kedaerah rantauannya kata ongga tidak lagi digunakan, justru kerap disebut dengan istilah alajar (berlayar). Seharusnya Pak Bupati Pamekasan berbangga dengan lahirnya istilah toron, karena toron merupakan peristiwa spontandan tak seorangpun dapat mengubah kata toron, kecuali ada istilah lain yang dapat diterima oleh warga Madura.

Menjaga Kearifal Lokal Madura

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline