Lihat ke Halaman Asli

Suyono Apol

Wiraswasta

Cerpen | Aku PKI?

Diperbarui: 20 September 2017   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: dark-room - toptenz.net

Tiba-tiba saja aku dan beberapa temanku diangkut menggunakan truk. Kami tahu bahwa kami diperlakukan dengan baik tapi tetap saja kami merasa kepanasan di atas kendaraan tanpa atap itu. Untunglah angin yang diakibatkan oleh kecepatan truk agak menyejukkan kami. Kami merasa ada yang mengawal truk ini tapi kami tidak tahu pasti.

Kami tiba di suatu kompleks yang hanya terdiri atas beberapa gedung. Kompleks itu berhalaman sangat luas dan asri tapi angker. Truk harus melewati penjagaan petugas keamanan sejak mau masuk pintu pagar. Serah terima kami pun berlangsung resmi dan serius. Masing-masing dari kami diperiksa satu persatu dan datanya disesuaikan dengan dokumen yang kemudian ditandatangani. Beres dengan urusan pemeriksaan dan administrasi, kami ditempatkan di satu ruangan besar dan ditinggalkan setelah pintu ruangan ditutup. Selanjutnya kami hanya menunggu dalam kesunyian dan terisolasi dari kehidupan di dunia ini.

Sekali-sekali pintu dibuka. Satu orang masuk memilih dan membawa satu atau beberapa di antara kami keluar, sementara yang seorang lagi tetap berdiri di ambang pintu mengawasi. Selesai melakukan tugas itu, mereka menutup pintu kembali. Kami yang berada dalam ruangan tak pernah tahu apa yang terjadi dengan teman-teman kami yang dibawa keluar karena mereka tak pernah kembali. Kami beranggapan no news is bad news sehingga kami makin merasa tertekan apalagi pada saat ada orang membuka pintu dan masuk. Menunggu dalam ketiadaan informasi itu sendiri sudah merupakan siksaan psikologis yang sangat meresahkan.

Kami mulai mengira-ngira siksaan apa yang akan diberikan kepada kami. Kami pikir siksaan ringan dan perlahan-lahan justru akan bisa membuat kami gila. Chinese water torture (meneteskan air di dahi dalam waktu lama) adalah salah satunya.

Siksaan yang juga berat adalah dengan memberikan kenikmatan sesaat yang kemudian dicabut secara mendadak, digantikan dengan keadaan sebaliknya yang kontras, syok karena terbanting dari ketinggian gairah hasil manipulasi.

Tiba-tiba pintu terbuka. Kali ini tanpa ada keraguan sedikitpun, dua orang, ya dua orang sekaligus, menghampiriku. Yang seorang adalah petugas yang biasa memilih dan mengambil kami, sedang yang seorang lagi berbadan atletis, berambut cepak, berbaju batik coklat, dan tampak gagah sekali.

Petugas yang biasa kulihat, kini menepuk-nepuk punggungku sambil berkata, "ini yang terbaik pak."

Si Baju Batik tampak tersenyum puas dan menjawab, "ya cocok untuk seorang nona yang cantik."

"Deg!" Jantungku berdegup. Kaget karena teringat akan siksaan yang diawali dengan kenikmatan sesaat.

Si Baju Batik menggiringku ke luar gedung. Di halaman yang luas itu berdirilah seorang gadis cantik jelita bergaun warna merah muda. Rambutnya yang hitam indah bergoyang melambai seirama angin di bulan Maret. Matanya membinar penuh harap merespon syaraf-syaraf di beberapa bagian sensitif tubuhnya yang berkedut-kedut penuh gairah. Senyum tipis yang selalu manis itu kini merekah tanda terkejut dan gembira menyambut kedatangan kami.

Si Baju Batik menyerahkanku kepada gadis berkulit putih segar itu, "Mbak, ini hadiahnya dari Bapak."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline