Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Catatan Klasik mengenai Mitos tentang Kembar Buncing (Manak Salah) di Bali

Diperbarui: 6 Agustus 2016   04:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: http://www.imagala.com

Tradisi lokal berbagai etnis di Indonesia terus berubah. Banyak yang sudah hilang ditelan zaman, tapi tak sedikit pula yang masih bertahan karena mampu beradaptasi dengan perubahan waktu.

Bali dikenal sebagai etnis yang dianggap kuat mempertahankan tradisi lokalnya. Begitulah kesan kebanyakan orang luar terhadap masyarakat Bali. 'Pulau Dewata' itu sangat menarik perhatian dunia karena masyarakatnya yang tetap teguh mempertahankan adat resam nenek moyang mereka, walaupun negeri mereka dibanjiri turis asing yang membawa masuk budaya regional dan global.

Namun demikian, Bali bukan tidak mengalami perubahan sosial-budaya. Dalam sebuah seminar tentang kebudayaan Bali Utara di Buleleng yang saya hadiri beberapa tahun lalu, saya mendapat kesan bahwa di kalangan intelektual Bali sendiri terdapat percanggahan pandangan: satu pihak melihat pariwisata dapat meningkatkan kesadaran orang Bali untuk mempertahankan tradisi mereka; pihak lain melihat pariwisata telah menimbulkan erosi budaya dan efek-efek lainnya terhadap masyarakat Bali.

Mitos tentang kembar buncing (Manak Salah) di Bali

Salah satu aspek kebudayaan tradisional Bali yang menarik adalah kepercayaan tentang anak kembar buncing atau orang manak salah. Menurut penjelasan scholar Bali, Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, kalau kembar buncing (lelaki-perempuan) terjadi pada keluarga biasa, itu dianggap bencana dan (dulu) berakibat dikucilkan. Jika itu terjadi pada keluarga 'kasta-atas', maka itu dianggap anugerah. Air bekas memandikan bayi kembar buncing dari ‘kasta-atas’ itu diyakini dapat menyuburkan sawah-ladang.

Majalah Pandji Poestaka, No. 46, TAHOEN IV, 11 Juni 1926, hlm.1052-1053 memuat tulisan Soedjana tentang kembar buncing. Menurut tulisan yang berjudul “ORANG MANAK SALAH DIPOELAU BALI” itu, “jang diseboet ‘manak salah’ jaitoe seorang iboe bangsa soedra jang melahirkan doea anak, laki2 [dan] perempoean. Adapoen iboe bapa dan kedoea anak jang baroe lahir itoe dikatakan berdosa (menjebabkan negeri panas, mengoerangkan hasil negeri dan memboeat mala atau chara, kepada seloeroeh désanja), sehingga meréka itoe patoet dihoekoem menoroet ‘adat.” Soedjana sama sekali tidak menyinggung manak salah yang terjadi di kalangan ‘kasta-atas’ sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Darma Putra.

Soedjana, yang kemungkinan berasal dari Bali sendiri, menjelaskan bahwa “apabila dalam seboeah désa ada orang ‘manak salah’, maka perempoean itoe dengan soeaminja bersama anak-anaknja dioesirlah oléh orang désa itoe serta ditetapkan meréka itoe mesti tinggal beroemah diloear désa boeat sementara; biasanja ditepi tanah koeboer. Empat poeloeh doea hari lamanja meréka mesti tinggal tertoetoep dalam seboeah pondok ketjil (karantina) jang disediakan oléh orang-orang désa itoe baginja.”

Dijelaskan lebih lanjut oleh Soedjana: “Djika soedah genap 42 hari, maka orang jang manak salah itoe baroe dilepaskan dari koeroengan dan meréka mesti memboeat selamatan (metjaroe namanja) doea kali oentoek menjelamatkan désanja. Selamatan jang pertama diboeat ‘Ngeloengah’, dan jang kedoea ‘Mesadi’ namanja. Biaja bagi doea matjam selamatan itoe ± 150 poekoe képeng atau f 300 banjaknja.”

“Kalau méreka itoe miskin, ta’ mampoe memboeat selamatan itoe”, lanjut tulisan itu lagi, “maka pendoedoek désa itoe haroes memberi oeang oeroenan setjoekoepnja.” Masyarakat Bali percaya bahwa selama selamatan metjaroe belum dilakukan, “maka désa itoe dikatakan orang charam, jaïtoe sabel atau mala, dan didalam désa itoe tiada boléh orang memboeat selamatan sembahjang déwa atau ngajoe-ngajoe, sebab tempat itoe dipandang masih kotor.”

Jadi, jika ada orang yang berani melakukan ngajoe sebelum petjaroe diadakan, maka hal itu dianggap dapat mengotori desa, dan apabila ada Pedanda (Pendéta) yang ikut memberi doa dalam selamatan itu, maka “Pendéta itoepoen toeroet dianggap charam (kotor).” Pendeta yang melakukan kesalahan demikian akan dihukum oleh raja dengan hukuman ‘Matirtja-Jatra’, jaïtoe mandi sambil memboeat selamatan dimata-mata air.”

Jika seorang ibu yang melahirkan anak kembar buncing sakit, dia pun bersama suaminya dihukum juga. “Ia dikoeroeng 42 hari lamanja [di sebuah pondok yang dipagar] dengan menanggoeng segala kesoesahan jang boekan sedikit beratnja.” Kedua anak buncing-nya juga ikut dibawa ke sana. Selama hukuman itu berlangsung, ia dilarang keluar dari pondok isolasi itu. Akan tetapi suaminya “dapat kelonggaran oentoek pergi meminta-minta derma kepada orang2 didalam sepoeloeh désa ‘adat (adasô Baleagoeng), tetapi ia sekali-kali tiada boleh bermalam di tempat itoe.” Si ibu yang dihukum itu juga harus merawat “anak-anaknja jang baroe lahir itoe, dan dibantoe djoega oleh soeminja jang toeroet terhoekoem itoe.” Setiap malam pondok itu dijaga oleh empat orang lelaki atas suruhan kepala desa. Mereka berganti-ganti melakukan penjagaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline