Lihat ke Halaman Asli

Suradin

Penulis Dompu Selatan

Bersyukur Bisa Mengenalnya

Diperbarui: 18 September 2021   06:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri. Suradin

ANDAIKAN malam ini tak sempat bertemu, mungkin saya tidak pernah tahu ada kisah yang mengharu biru dalam hidupnya. Perjalanan hidupnya mungkin di alami pula oleh mereka yang pernah tertatih-tatih dari nol pasca menikah. Saat dimana tidak ada pihak yang bisa dimintai bantuan kala kesusahan itu datang mendera. 

Patahan kisah hidupnya di masa lalu masih segar dalam ingatannya. Saya baru mengenalnya kurang lebih dua pekan. Kami dipertemukan dalam satu pekerjaan. Dengan begitu, dalam beberapa kesempatan kami harus bersama. Walau sering bersua, tapi jarang berbagi kisah tentang kusutnya masa lalu masing-masing. 

Dokpri. Suradin

Namun malam ini, Jumat, 17 September 2021 ada yang berbeda. Tidak  biasanya. Tanpa todongan senjata. Dihujam badai. Ditikam badik. Diancam masuk lahar panas. Bahkan tanpa garansi masuk ke nirvana, dirinya dengan tatapan teduh membuka lapis-lapis kisah masa lalunya. Saya memilih mendengarkan. Hanya sesekali melontarkan pertanyaan. Dirinya ingin menumpahkan semua lapis-lapis kisah yang pernah menghujam jantungnya. Mula-mula kami ngobrol santai. Tak berselang lama kisah itu dihamparkan. 

Ketika saya bertanya tentang masa pahitnya. Sejenak ia terdiam. Tatapannya menerawang. Suaranya begitu berat saat memulai kisahnya. Mula-mula ia berkisah tak seberapa lama setelah dirinya memutuskan untuk menikah. Dirinya serupa kapal yang tak tahu arah berlayar. Angin menyeretnya hingga kompas kehidupan tak mampu memberinya kepastian tujuan. Dirinya tak punya pekerjaan selama setahun setelah ijab kabul di tunaikan. Dirinya linglung. Tak tahu harus meminta bantuan kepada siapa. Sementara kapal bernama pernikahan sudah jauh meninggalkan tepian pantai. 

"Satu tahun tak punya pekerjaan sangatlah sulit kala itu" Ucapnya lirih. 

Kebahagiaan sebagai pengantin baru hanya berhenti setelah foto bareng bersama keluarga di atas singgasana pelaminan. Namun setelah itu, dirinya harus banting tulang menafkahi keluarganya. Nasib baik tidak langsung menghampiri. Perasaannya tidak karuan. Pekerjaan yang diimpikannya tak kunjung di dapatnya. Tapi ia bersyukur, memiliki istri yang pengertian. Belahan jiwanya tak menuntutnya yang berlebihan. Hari-harinya terus meyakinkan diri, bahwa masa sulit akan segera tergantikan dengan masa kebahagiaan. Kesabaran dan ketabahan adalah senjata baginya untuk terus bertahan. Mundur sebagai pecundang, atau bangkit untuk terus berjuang sampai titik keringat berkesudahan. 

Dokpri. Sukardin

Namanya memang tidak setenar Ariel Noah. Tak sementereng Ahmad Dhani. Bahkan tidak se-familiar Jokowi, Presiden Republik Indonesia. Dirinya pun tak punya hasrat menjadi selebritis  apa lagi presiden. Hidupnya tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin menjadi laki-laki yang  bertanggungjawab. Menjadi suami yang selalu memberi nafkah pada keluarga kecilnya. Cintanya hanya diperuntukkan pada mereka yang selalu setia mendampingi dalam senang mau pun duka mendera. 

Sukardin. Itulah nama pemberian orang tuanya. Tak ada alasan baginya untuk memprotes kala nama itu disematkan kepadanya. Waktu itu, dia baru mengenal dunia. Ia hadir di alam yang penuh cobaan. Penuh duka lara nestapa. Tapi dia tahu, bahwa dunia yang dipijakinya hanyalah fana. Sesal tak pernah terucap dari mulutnya. Ia bersyukur lahir dari orang tua yang setia menyiraminya kasih sayang. Ia tumbuh di masyarakat pedesaan yang patuh pada adat dan tradisi.

Pria yang sudah umur 40-an ini masih merawat kisah pilu yang pernah mendera hidupnya di masa silam. Ia tidak pernah menyesalinya. Mengenangnya sebagai pelajaran hidup. Tidak sekedar untuk dirinya, namun lebih penting bagi kedua buah hatinya. Ia ingin memastikan anak-anaknya tumbuh kembang menyapa langit kesuksesan di masa mendatang. Untuk itu, Bang Suka demikian biasa di panggil, terus berikhtiar pada pekerjaan yang digelutinya. 

Walaupun hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama. Bang Suka memiliki banyak keahlian. Selain menjadi driver, operator chainsaw, tukang kayu, dirinya juga bisa mengoperasikan beberapa alat elektronik. Namun ketika sepi job, dirinya biasa menjaring ikan di laut. Dengan perahunya, ia harus membelah laut di pekatnya malam untuk melepas jaring. Jika tangkapan kurang, dirinya memutuskan mengambil rumput laut untuk di jual ke pengepul. 

Dokpri. Suradin

Anak pertama dari enam bersaudara ini, juga mengkisahkan masa pahitnya sewaktu merantau di negeri jiran Malaysia. Ketika itu, ia menjadi operator chainsaw. Menebang kayu di tengah rimbanya hutan Kalimatan. Itu  pengalaman yang tak mudah dilupakannya di awal pernikahan. Suatu hari ia tidak memegang uang sepeserpun. Jangankan untuk dikirim ke kampung, untuk membeli makanan saja sungguh sulit. Tak ada yang mengulurkan tangan untuk membantu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline