Lihat ke Halaman Asli

Suradin

Penulis Dompu Selatan

Lestari Alam Pedesaan di Kecamatan Woha Kabupaten Bima

Diperbarui: 2 September 2020   16:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri. Perkampungan di Kecamatan Woha Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat,

Di kalangan akademisi, cukup sering memperbincangkan mengenai desa dan kota, terlebih sisi perbedaan keduanya. Tidak hanya perbedaan faktor karakter manusianya, tetapi juga kondisi alamnya. 

Bahwa desa masih di lihat asri, lestari, alami bahkan desa di pandang satu lanskap kehidupan yang masih bersanding dengan alam sekitar. Sehingga seseorang yang pernah lahir dan besar di desa, lalu tiba-tiba berada di lingkungan perkotaan, maka tidak heran suatu ketika ia akan merindukan suasana pedesaan.

Pandangan di atas, adalah secuil deskripsi tentang suasana pedesaan. 

Ketika hari ini, Selasa 1 September 2020 berada di perbukitan di bagian barat desa Tenga, Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat, saya berdecak kagum dengan hamparan persawahan, deretan kampung di kaki gunung, serta aktivitas warga yang sedang sibuk menyemprot tanaman, mengairi persawahan dan menyangkul areal bedekan untuk tanaman bawang merah.

Dokpri. Desa Tenga, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima

Di atas bukit, ada kedamaian yang terasa menggelayut dalam pikiran. Hati terasa tentram. Lukisan ilahi begitu indah nan mempesona. Saya diam sejenak sambil bersandar di salah satu tebing. 

Pandangan masih dilemparkan ke semua arah. Gunung yang menjulang tinggi di bagian timur dengan rumah warga menyemut di kakinya, terlihat kokoh dan gagah. Sapuan mentari sore menyapa semesta, membuat hamparan pedesaan terlihat cukup jelas.

Sejenak saya merenungi arti kehidupan ini. Saya sudah jauh berjalan mengangkangi hari. Dunia telah membuat saya terobsesi akan banyak hal. 

Saya jauh meninggalkan suasana pedesaan, karena lama di tanah perantauan. Pikiran saya terjebak, bahwa tinggal di perkotaan menjanjikan kesuksesan lahir dan batin.

Dokpri

Dokpri

Ketika kaki kembali berpijak dan merasakan suasana pedesaan, pikiran saya kembali membuka lipatan masa lalu. Ketika dulu masih duduk di sekolah dasar, saya cukup akrab dengan sungai, laut, dan gunung. 

Ketika musim hujan tiba, bersama teman kampung, saya biasanya lari keliling kampung sambil bermain kejar-kejaran di bawah guyuran hujan. Bahkan, ketika hujan begitu lebatnya, kami biasanya mengejar burung di areal persawahan, sambil melempar mangga di kebun warga untuk di makan bersama. 

Begitu juga ketika orang-orang tua di kampung mengajak mengambil kerang ketika air laut surut. Bahkan tidak jarang saya menikmati gelombang laut dengan papan ala kadarnya untuk berselancar di bawah gulungan ombak Teluk Cempi. 

Kemudian kearaban saya dengan gunung tidak diragukan lagi. Ketika musim kemarau tiba, gunung di arah timur kampung akan ramai oleh warga. Semua berbondong mengambil kayu bakar, sebelum warga di kampung mengenal kompor dan gas seperti sekarang ini. 

Saya terbiasa memikul kayu bakar dengan menuruni jalan setapak yang berkelok-kelok. Saya harus berhati-hati, karena medan yang di lalui penuh dengan potongan kayu dan bebatuan memenuhi sepanjang perjalanan turun. Dan aktivitas mengambil kayu bakar, menjadi rutinitas setiap tahunnya ketika itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline