Lihat ke Halaman Asli

Suprihadi SPd

Selalu ingin belajar banyak hal untuk dapat dijadikan tulisan yang bermanfaat.

Anak Tunggal Jangan Diremehkan

Diperbarui: 19 April 2024   08:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Anak Tunggal Jangan DiremehkanDi kamar tidur yang tidak begitu luas, aku mencoba menulis di tab  perihal kondisi pagi hari ini sebelum pergi kuliah. Aku ingin bercerita dengan kalimat-kalimat pendek. Satu kalimat hanya dengan tiga kata.     

Hari masih pagi. Pukul 09.00 wita. Cucian belum kering. Gerimis masih turun. Udara terasa dingin. Sendiri aku di rumah. Tugas kampus menunggu.

Terasa lucu dan kaku. Aku tersenyum. Bergegas aku tutup tab dan keluar kamar menuju dapur. Bukan mau makan. Aku hanya ingin memastikan tidak ada kompor yang menyala dan kran air di wastafel dan tempat cuci piring tidak mengalir.

Pintu dapur yang menuju halaman belakang segera aku kunci dari dalam. Jendela dapur yang masih terbuka segera aku tutup. Saklar lampu kumatikan sebelum kutinggalkan ruang dapur.

Papa dan mamaku sudah berangkat kerja dua jam yang lalu. Asisten rumah tangga kami sedang berbelanja ke pasar. Satu jam sudah mbak Karsi meninggalkan rumah. Biasanya tidak sampai satu jam mbak Karsi ke pasar.

 Kulangkahkan kaki menuju ruang tamu. Sofa empuk menjadi sasaran. Baru beberapa detik aku duduk, terlihat ada orang datang. Lewat kaca jendela aku melihat mbak Karsi sedang memarkir sepeda motor di halaman.

Dengan langkah terburu-buru, mbak Karsi menuju pintu kamar tamu. Spontan aku berdiri dan setengah berlari mau membukakan pintu. Terdengar napas terengah-engah. Mbak Karsi menaruh barang belanjaan agak kasar. Sengaja aku diam sambil menunggu mbak Karsi mengatur napas.

"Putri. Saya izin mau pulang kampung. Barusan adikku menelepon. Bapakku sakit keras," tutur mbak Karsi masih terengah-engah.

"Ini belanjaan sudah saya belikan sesuai pesanan mamamu. Hari ini saya disuruh memasak sayur santan. Resep menu masakan ada di dapur," ucap mbak Karsi mulai lancar.

"Saya mau pulang naik bus. Putri bisa antar saya ke terminal, khan?" tanya mbak Karsi dengan nada penuh permohonan.

"Mbak Karsi siap-siap dulu. Bawa pakaian secukupnya. Aku akan ganti baju," ucapku seraya melangkah menuju kamar.

Mbak Karsi sudah kami anggap keluarga sendiri. Urusannya adalah urusan kami juga. Kesulitannya adalah kesulitan kami juga. Ayah mbak Karsi sering kambuh penyakit asmanya. Setiap kambuh, adiknya di kampung selalu menelepon mbak Karsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline