Lihat ke Halaman Asli

Kota Sastra dan Wali Kota

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sunan Gunung Djati-Orang Jawa Barat hampir tak ada yang tidak pernah mendengar nama Martanegara. Minimal yang tidak paham sejarah, mereka mengenalnya sebagai nama dari salah satu jalan besar di Kota Bandung.

Tentu tidak sekadar dijadikan nama jalan, tetapi juga ada alasan yang melatarbelakanginya.

Martanagera yang nama lengkapnya Raden Adipati Aria Martanegara adalah Bupati Bandung kesepuluh (1893-1918) pengganti Raden Adipati Kusumadilaga yang pada saat meninggal dunia, pewarisnya Raden Muharram masih kecil, sehingga kekuasaan beralih sementara kepada Martanegara yang saat itu  menjadi patih Sukapura Kolot.

Garis keturunannya bukan dari trah Bandung, tetapi dari bangsawan Sumedang, cucu Pangeran Kornel, Bupati Sumedang (1791-1829) yang terkenal berani, teneung ludeung dan ngumawula ka wayahna, serta sempat ditulis sebagai latar roman sejarah oleh H. Memed Sastrahadiprawira (1928). Ibunya adalah Raden Tejamirah, putri dalem Tumenggung Suriadilaga yang sempat menjadi pejabat di Kabupaten Sumedang.

Tentu saja peralihan dari Bupati Bandung yang wafat kepada bukan anak daerah walaupun masih dari keturunan bangsawan, tidaklah berjalan mulus. Isu dan sentimentalisme kedaerahan yang dibalut dengan nafsu kekuasaan dan bagi-bagi jabatan diembuskan untuk mengempaskan Martanegara.

Negarawan

Namun akhirnya Martanegara mampu membuktikan kualitas dirinya. Selama memangku jabatan bupati 25 tahun 4 bulan sebelum akhirnya wafat pada usia 81 tahun, ia banyak menorehkan prestasi bagi pengembangan Kota Bandung sehingga banyak penghargaan yang diberikan kepadanya seperti Gelar Aria, Gelar Adipati, Bintang Mas, titel Demang, Rangga, dan Payung Kebesaran.

Martanegara dengan sukses membuktikan dirinya sebagai negarawan. Bukan penguasa.

Ada banyak keberhasilan yang ditorehkannya sebagai cermin kenegarawanan, sebagaimana ditulis Nina Lubis (2000) yang pada masanya sangat visioner: 1) mengganti rumah penduduk yang beratapkan ilalang dengan genting yang dibuat secara mandiri. 2) Swasembada singkong di samping untuk konsumsi di masa paceklik juga untuk memenuhi pasar Eropa. 3) Menyaer rawa-rawa dijadikan areal persawahan, kolam ikan, dan perumahan penduduk. 4) Penataan irigasi, menggerakkan penduduk Lebak Gede untuk memperbaiki saluran Sungai Cikapundung dan Cikakak sementara di daerah Gunung Halu dibuatkan irigasi ”selokan dalam”. 5) Untuk menggali aspirasi masyarakatnya, Martanagera kerap kali turun ke bawah, mengarungi sawah, ladang, sungai, bahkan tidak segan-segan tidur di saung penduduk sehingga Martanegara tahu kebijakan yang harus diambil, kebutuhan yang diperlukan masyarakat dan pekerjaan yang mesti diprioritaskan sehingga tidak terjadi kebijakan yang tumpang tindih dan pekerjaan yang moro julang ngalepaskeun pesing. 6) Memerhatikan kepentingan kaum perempuan seperti dukungan  penuh terhadap perjuangan dan lembaga pendidikan perempuan yang didirikan Dewi Sartika di samping mendirikan lembaga pemberi beasiswa (Het Menakfonds) untuk membantu siswa pribumi cerdas.

Yang lebih menakjubkan, Martanegara  memiliki perhatian terhadap perkembangan budaya dan sastra.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline