Lihat ke Halaman Asli

Sulasmi Kisman

Warga Ternate, Maluku Utara

Bukan Perempuan Penulis (2)

Diperbarui: 28 September 2020   20:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sawah di Desa Tanjung Sari, Sumedang [dokpri, 2017]

Gunung Sari, 23 Desember 2015

Aku merapikan berkas-berkas yang berhamburan di kamar ini. Hampir setahun aku menghabiskan malam-malam ku disini. Selain menulis laporan kegiatan per hari, kamar ini pun menjadi luapan segala rindu. Ya, rindu pada Bibi di desa Liang dan Bulahis, lelaki yang telah datang mewarnai ruang kosong dalam kehidupan. 

Sampai Desember 2015 ini, aku telah menuliskan 15 puisi, 10 Cerpen dan genap 96 Esai Lepas yang merupakan hasil kontemplasi dari seabreg kegiatan pelatihan di desa Gunung Sari. Benar-benar aku merasa merdeka. Di Gunung Sari, aku merasa lebih hidup. Dengan menulis aku merasa seimbang, karena dengan bebas kutumpahkan segala kesal dan rasa kasih sayang.

 Di sela-sela kesibukanku melipat kertas dan map-map yang berserakan di meja kamar, terdengar isak tangis Bu Ngatiyem, istri pak Sudarmo yang merupakan ibu Mariana. "Benarkah dek Laksmi akan pergi meninggalkan desa Gunung Sari" Bu Ngatiyem berdiri di depan pintu kamarku yang sebenarnya tak memiliki daun pintu dengan tangan menyeka pipinya.

 Segara aku menjawab dan berjalan mendekati Bu Ngatiyem "Tidak bu, Meskipun berada di tanah Maluku sejujurnya sulit untuk bisa melupakan desa indah ini. Disini saya banyak belajar". Sambil memeluk Bu Ngatiyem saya melanjutkan pembicaraan.

"Ibu tidak perlu sedih, sekarang kita bisa dengan mudahnya berkomunikasi. Bukankah Kantor Desa juga melayani warganya untuk bisa mengakses segala informasi? Bukankah ibu tahu bahwa ada program baru dari kepala desa? Kemarin bu Fauziah bisa tersenyum bahagia karena dapat melihat langsung anaknya yang ada di Turki. Pemerintah memfasilitasi telepon video untuknya. Bayangkan bu, itu di Turki. Aku hanya berada di wilayah Indonesia. ibu bisa meminta pak Sudarmo agar mengantarkan ibu ke Balai desa setiap hari hanya untuk video call denganku. 

Aku memegang kedua pundak Bu Ngatiyem seraya meyakinkan padanya. Di matanya yang masih sembab terbaca kedalaman cinta yang cukup menenangkan. Sungguh interpretasi ini berbeda dengan kejadian dibawah pohon kelapa sore itu. "Ah sudalah.." aku bergumam lagi di dalam hati.

Sekarang sudah benar-benar larut, jam menunjukkan hampir pukul 12 malam. Aku menuntun Bu Ngatiyem kembali ke kamar. Di kamar tengah aku melihat Mariana tertidur lelap dengan setelan kuncirnya yang tetap terikat rapi.

 Aku tersenyum.

 "Oh Hyang Widhi, aku sungguh dilema. Satu sisi aku benar-benar sulit meninggalkan desa yang telah menjadi guru kehidupanku. Disini aku tak sekadar pelatihan menjadi pendamping desa. Jujur disini aku mengenal sejatinya keluarga, aku merasakan dengan benar kehangatan saudara perempuan. Disini aku melihat dengan nyata perjuangan petani dan peternak yang semakin mempertebal iman perjuanganku. 

Tetapi disisi lain aku pun punya tanggung jawab pada desa Liang, desa yang telah membesarkanku meskipun sebenarnya ari-ariku tak tertanam disana. Juga satu alasan yang mendasar, Cintaku pada Bulahis sudah semakin merekah semenjak jarak menjadi pemisah dalam ruang romantisme yang terlahir secara alamiah. Oh Hyang Widhi, aku menguatkan diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline