Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Momentum Minta Maaf: Lebaran dan Saat Perilaku Buruk Diviralkan

Diperbarui: 17 Mei 2021   14:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

si pegumpat ke polisi minta maaf - hai.grid.id

Lebaran, alias perayaan Idul Fitri, menjadi momentum sakral untuk satu hal, yaitu minta maaf. Entah apa-apa pula salah dan dosanya, nggak tahu seberapa kenal atau imtim dalam pergaulan sehari-hari, juga tidak jelas pada konteks apa. Pokoknya minta maaf saja. Dikasih terima kasih, tidak dikasih ya nggak apa. Sebab ucapan itu kerap sekadar basa-basi, pemanis bibir, bagian dari tradisi, dan seterusnya.

Namun, ada momentum lain ketika orang "terpaksa" minta maaf. Yaitu ketika perbuatan buruk mereka direkam orang, lalu disebar ke media sosial, hingga akhirnya menjadi viral bahkan trending topic. Spontan, gercep, dan seketika orang akan minta maaf. Kalau perlu divideokan yang menampakkan wajah memelas, suara terbata-bata, disertai tangis memilukan.

Tentu karena hujatan datang bertubi-tubi. Wajah mereka dikenal orang bukan karena hal baik, tapi buruk, setidaknya kontroversial.

Bila permintaan maaf terkait Lebaran dengan suasana riang-gembira dan suka-suka, pada permitaan maaf terpaksa dengan penuh nada prihantin tak tertahankan.

Begitulah perilaku orang-orang yang berada di dalam mobil pada perjalan arus mudik Lebaran, yang sengaja atau tidak sengaja ditampakkan, sedang marah-marah dan memaki petugas pelaksana aturan dilarang mudik Lebaran tahun ini. Galak, geram, penuh amarah, dan menaykiti betul kata-kata yang keluar dari mulut mereka.

Padahal pelakunya bukan hanya para lelaki, tetapi juga perempuan berjilbab. Timbul pertanyaan, apakah mereka melaksanakan shaum dan segenap amal-ibadah selama Ramadan? Apakah secepat itu (dalam hitungan jam) mereka melupakan prinsip-prinsip orang shaum, yaitu menahan diri, berempati, bersabar, dan berbagai bentuk pelatihan fisik-mental-rohani lain?

*

Beberapa hal mengapa orang tak mampu mengendalikan diri dan marah-marah. Pertama, merasa diri benar dan orang/pihak lain salah. Kedua, merasa dirinya dicurangi/didzolimi/dianak-tirikan dan diperlakukan tidak adil. Ketiga, emosi tinggi,  merasa hebat sendiri, dan bersikap arogan (karena kekayaan, kedudukan, jabatan, kecerdasan, dan lain-lain). Pada posisi ini hanya orang-orang dengan kecerdasan emosional rendah saja sanggup melakukannya.

Latar-belakang itu memudahkan seseorang dengan mudah mencari sasaran amarah. Tidak peduli siapapun. Sangat kebetulan para sasaran hanyalah petugas di lapangan, alias pelaksana aturan, yang coba memenuhi tugas dan tanggungjawabnya. Para petugas itu tentu sudah dibekali dengan kesabaran dan penuh rasa pengertian, tanpa kehilangan sikap tegas. Lebih dari itu, mereka sadar sedang dalam sorotan kamera.

Padahal mestinya para pemudik (dengan alasan tertentu yang sangat penting) bisa bicara baik-baik, meluangkan waktu untuk bicara dari hati kehati dengan petugas mengenai betapa penting kepulangan mereka ke kampung halaman. Pasti ada solusi terbaik sehingga tidak harus keluar kata-kata kotor penuh amarah.

Setelah kejadian menjadi viral tak urung minta maaf, ditambah malu, dan makin marah lantaran dihujat dan di-bully netizen dengan semena-mena. Tetapi kalau tidak diviralkan agaknya tidak pernah ada kata maaf, dan malah lain kali akan mengulangi lagi perbuatan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline