Lihat ke Halaman Asli

Sri Rumani

TERVERIFIKASI

Pustakawan

Generasi Milenial Tidak Tertarik Bekerja di Sektor Pertanian, Mengapa?

Diperbarui: 2 Mei 2019   22:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: bisnis.tempo.com (Ilustrasi petani menanam bibit padi. ANTARA/Maulana Surya)

Sebutan sebagai negara agraris yang disandang bangsa Indonesia, mulai bergeser seiring menyusutnya lahan pertanian karena beralih fungsi menjadi perumahan, gedung pemerintahan, perkantoran, pasar, sekolah, stasiun kereta, bandara, terminal. Pembangunan infrastruktur ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang jumlahnya terus meningkat tanpa diimbangi dengan perluasan lahan. 

Akibatnya di daerah perkotaan (urban) yang menjadi pemukinan, pusat pemerintahan, pelayanan jasa, sosial, dan kegiatan ekonomi seperti magnit. Kondisi ini tentu mendorong orang desa untuk berpindah ke kota, "ada gula ada semut". Artinya orang akan tertarik untuk datang ke tempat yang menjanjikan kesejahteraan, dimana ada banyak kenikmatan, disitu banyak orang yang berdatangan.    

Perpindahan orang desa ke kota karena tuntutan pekerjaan, mencari ilmu, atau merubah nasib hidup. Semua itu berdampak pada berkurangnya penduduk desa untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk jangka pendek, setelah selesai menuntut ilmu kembali ke desa membangun dan menularkan ilmunya agar warga desa terbuka wawasan dan pengetahuannya. 

Masalahnya, masih sedikit kaum terpelajar yang bersedia kembali ke desa, karena di desa tidak ada yang bisa dikerjakan sesuai ilmu yang dimiliki. Akibatnya desa tidak banyak berubah, termasuk nasib dan kehidupan teman-teman sebaya saat SD, kesejahteraannya nyaris stagnan, berkeluarga tetapi kerja serabutan, kasar, mengandalkan otot/tenaga daripada intelektual dan hidup serba pas-pasan.

Dalam kondisi demikian generasi milenial di desa sudah tidak bersedia bekerja di sektor pertanian. Alasannya selain lahannya berkurang karena alih fungsi untuk perumahan orang kota, upah yang diterima rendah. Berdasarkan data BPS upah nominal harian buruh tani nasional sebesar Rp 53.781,- (bulan Februari 2019), ini suah dari sebesar 0,33 persen dibanding bulan Januari 2019 sebesar Rp 53.604,- (https://ekonomi.bisnis.com). 

Akibatnya bekerja di sektor pertanian tidak dapat secara signifikan meningkatkan kesejahteraan buruh tani. Kondisi ini juga mengakibatkan daya beli untuk memenuhi kebutuhan pokok berkurang.

Disisi lain petani (orang yang mempunyai lahan pertanian), kesulitan untuk mendapatkan tenaga tanam dan petik padi saat musim tanam dan panen. Kalaupun masih ada buruh tani usianya sudah diatas 50 tahun, artinya tenaganya sudah tidak sekuat dan selincah generasi milenial. Apalagi ketika menanam padi di genangan lumpur untuk berjalan mundur terasa sangat berat. 

Benar-benar posisi petani menjadi terhimpit dan sulit, karena biaya produksi semakin membumbung dan harga jual saat panen justru kebalikannya semakin terpuruk. Apalagi buruh tani yang tidak mempunyai lahan sendiri, hanya menyediakan tenaga untuk bekerja saat musim tanam ataupun panen. 

Pekerjaan ini biasa dilakukan oleh kaum perempuan, sedang kaum laki-laki bertugas membersihkan batang padi (damen bahasa Jawa) untuk dijadikan makanan ternak atau dikumpulkan dan dibakar. Pembakaran damen, tanpa disadari sebenarnya dapat merusak humus di sawah, dan menyebabkan polusi udara.

Teknologi tepat guna masih sangat minim dimanfaatkan, sehingga untuk menanam pagi masih dilakukan secara manual. Termasuk untuk menunai dan atau memetik padi yang sudah menguning, dengan anai-anai. Kondisi ini sangat membutuhkan waktu lama karena memetik tangkai padi dilakukan satu persatu. Keuntungannya bulir padi tidak rontok, sehingga dapat dimasukkan dalam karung. Untuk mempercepat biasa dilakukan oleh para bapak dengan arit, namun resikonya banyak bulir padi yang rontok dan jatuh di sawah. Artinya mengurangi produksi gabah karena banyak yang jatuh di lahan persawahan.  

Langkanya buruh tanam dan panen pagi ini disebabkan juga generasi milenial tidak pernah pergi ke sawah, menjadi generasi mager (malas gerak) karena asyik dengan handphone. Apalagi melihat penggarapan sawah setelah panen dengan dibajak (sekarang memakai mesin traktor), berjalan di pematang sawah, melihat dan merasakan sensasi naik gaharu yang ditarik sepasang sapi, di sawah yang berlumpur untuk siap tanam padi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline