Lihat ke Halaman Asli

Sri Rohmatiah Djalil

TERVERIFIKASI

Petani, Penulis

Surat untuk Keluarga di Rumah Kenangan

Diperbarui: 9 Mei 2021   12:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto dokumen pribadi saat halal bihaal lebaran 2018 di rumah Bibi

Dear adikku,

Lebaran tiba, lebaran tiba, lebaran tiba ... ini lebaran kedua aku tidak pulang. Alasannya sudah tepat, ada larangan dari pemerintah untuk mudik. Jika pun mudik harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Selain itu aku punya alasan sendiri, kenapa tidak mudik.

Kita ingat sebelum Ramadan, tepatnya awal April. Secara tiba-tiba aku datang ke rumah tanpa bicara. Ini di luar kebiasaan. Aku berpikir, sebelum puasa ingin minta maaf, sungkem ke Ibu dan nyekar ke makam Bapak. Ibu pun riang menyambut dari pagar.

Adik bilang, "Mimi sudah bicara terus ingin bertemu dengan anak-anak dan cucu sebelum puasa, ternyata keinginannya tembus ke hati Teteh."

Malam itu bersama Mimi, sebutan untuk Ibu. Aku ngobrol ngaler ngidul hingga tengah malam sambil memijat kakinya.

"Mi, ko jadi kurus gini, pas uih umroh meni gendut," ujarku.

"Ya tos tua paling, di rumah padahal makan tidur, gak capek."

"Ikut ka Madiun yu!"

Aku sudah tahu jawabannya tidak mau karena di rumah ada adik laki-laki yang belum nikah. Alasannya selalu sama, "Kasihan adikmu, gak ada yang masakin." Kata orang bijak, "Orang tua itu ingin menghabiskan masa tuanya di rumah sendiri."

Pagi itu Mimi sibuk memasak untuk cucunya, tidak banyak, hanya tempe goreng tepung, katanya, "Ini kesukaan Farhan." Aku hanya senyum sambil memotong sayuran. Mungkin aku terlihat sadis membiarkan orang tua masak? Tidak. Sebelumnya aku sering melarang Mimi masak ketika mudik. Ternyata itu salah. Laranganku akan membuat orang tua sedih.

Aku teringat kisah seorang professor yang pulang ke rumah ibunya waktu tengah malam. Ibunya sangat gembira dan menghidangkan makan malam, sayur asem, ikan asin, sambel. Bisa dibayangkan, tengah malam makan sayur asem, tentu rasanya tidak nikmat. Demi menyenangkan hati orang tua, profesor itu memakannya. "Jangan tolak makanan yang dibuat ibumu, karena itu akan melukai hatinya."

Satu hari itu aku habiskan waktu bersama Mimi, hingga malam tiba pamit pulang karena besok pagi anak-anak harus sekolah virtual.

"Sekolah dari sini saja, kan online sanes?" katanya penuh harap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline