Lihat ke Halaman Asli

Sri Patmi

Bagian Dari Sebuah Kehidupan

Cerpen Sri Patmi: Dicumbui Bayangan

Diperbarui: 15 Juni 2021   09:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Malam ini kerinduannya masih menggebu. Mengerang kesakitan dimakan ambisi yang tak pernah terpenuhi. Benar memang pertemuan mereka beberapa waktu ini selalu memberikan cerita dalam untaian kalimat penuh makna. Bahkan kepergiannya menuju negeri antah berantah sudah menghadirkan rasa kehilangan sebelum memiliki. Batangnya hadir didalam diri yang tak memiliki bayang. 

Arifin tak pernah menyadari keberadaan bayang yang selalu mengikutinya. Berjalan, berlari, terhentak, tertidur bahkan diwaktu gelap datang bayang dirinya selalu menyelimuti. Sedari kehadiran bayang dibawah sorot mentari pagi ini, ia mulai merasakan ada yang membuntuti. Bulu kuduknya merinding. 

"Ahhh.. anak setan! Masa tengah hari bolong begini ada setan ngikutin gue!"

Arifin melanjutkan perjalanannya memasuki hutan yang makin pekat. Cahaya matahari mereda karena rapatnya vegetasi hutan. Bermodalkan nekad ia masuk kedalam hutan, dipenuhi dengan rasa iseng berbalut ngeri. Suara tonggeret memanggil-manggil. Setelah berjalan makin jauh dari keramaian, ia menyadari ini bukan modal nekad. Inilah bentuk keyakinannya terhadap jalan hidup yang lebih baik. Kemanapun perginya hanya alam yang akan mendekap dengan penuh kasih dan kehangatan. 

Kakinya menjejak tanah yang katanya tempat paling nyaman untuk berpijak. Tak ada apapun selain dua helai baju dan celana yang ia kenakan. Bekal menuju jalan kematiannya jika babi hutan atau macan kumbang dilanda rasa lapar yang tak dapat ditawar. 

Lagi... 

Bulu kuduknya berdiri. Ia terdiam menoleh kebelakang. Berjalan 2 langkah kedepan dan menoleh. Arifin berlari kencang. 

Lagi... 

Bayang itu ikutan berlari kencang. Ia mulai menginjak dan mencongkel bagian bayang yang menempel pada tumit kaki. Ia makin kebingungan ketika malam sudah datang, bayang dirinya selalu ada. Senja mulai menepi, malam mulai menghampiri. Arifin berteduh dibawah pohon sengon dari hujan serapah dari sang malam. Faktanya selama ini, hidupnya adalah malam. Dengan urat-urat tangannya yang terlihat menonjol di kulit ari yang melegam, ia mengumpulkan kayu bakar. 

Telapak tangannya berbenturan antara kanan dan kiri. Ia pun kebingungan dengan dirinya, katanya ia adalah malam, tapi kenapa kemalaman? Katanya ia siang, tapi kenapa kesiangan? Katanya ia pagi, kenapa kepagian? Katanya ia dingin, kenapa ia kedinginan? Katanya ia api, tapi kenapa ia terbakar? Kelakar tawanya berkoar ditengah hutan tanpa manusia lain yang menjelma. 

Tak lama, tawa itu kembali disambut dengan tawa yang sama. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline