Lihat ke Halaman Asli

Farzana

A Writer, A Counselor

Hari Perempuan, Masihkah Puan Jadi Manusia Nomor Dua?

Diperbarui: 9 Maret 2021   05:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pribadi

Pandemi Covid-19 membuat semua jobdesc bertambah, permasalahan meningkat, disisi lain sekolompok orang yang berjuang dan bangkit dari keterpurukan. 

Perempuan menjadi orang yang bebannya dua kali lebih berat. Loh kenapa? Karena ia seketika berubah menjadi guru dadakan untuk anak-anaknya yang sudah biasa belajar di Sekolah, bisa dibayangkan bagaimana kesabaran yang harus di restart berkali-kali karena mengontrol mood anak atau diharuskan mengerjakan tugas anaknya. 

Sebagian perempuan sibuk dan kepayahan memutar otak untuk memfasilitasi anak-anaknya belajar online. Beberapa lainnya mengembangkan kemampuannya untuk menambah penghasilan, karena banyak sekali yang di rumahkan atau suaminya yang diputus hubungan kerja. 

Belajar dan menambah skill memasak, menjahit, marketing, edit sederhana bahkan mengikuti kelas-kelas online dilakukan perempuan. 

Kabar baik datang dari semangat perempuan yang menggebu. Ternyata masih ada kabar sedihnya, tercatat sudah meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mana korbannya adalah perempuan dan anak. 

Umumnya karena faktor ekonomi yang berdampak akibat panjangnya masa pandemi. Selain itu, perselingkuhan, perceraian, kekerasan seksual dan verbal rasanya tak henti-hentinya didapatkan oleh makhluk yang berasal dari tulang rusuk ini.

Kasus yang terus menerus terjadi ini dinilai adanya bias gender. Anggapan laki-laki masih mendominasi alias patriarki atau punya kuasa penuh atas segala hidup perempuan. 

Dominasi tersebut punya peran dari Negara, Pemerintahan, Sekolah, Keluarga dan Lingkungan kerja seolah membentuk pemikiran dan pembenaran dominasi kaum laki-laki. Adanya ketimpangan di Hukum dan sosial seperti pekerjaannya, dan aturan atau undang-undang yang menempatkan perempuan berhak bergaji lebih rendah, atau mendapatkan perlakuan yang dianggap wajar.

Bias gender ini yang masih disalah artikan. Faktanya, masih banyak yang menilai bahwa kesetaraan membuat perempuan akan merebut bahkan merendahkan kaum laki-laki sehingga perempuan melupakan tugas lahiriah yang biasa disebut dapur, sumur, kasur. 

Dipandang sebagai satu-satunya manusia yang wajib memenuhi aturan atau paksaan. Padahal, perlu dibangun komunikasi dan kesepakatan bahwa pemikiran antara suami dan istri setara atas nama pembagian tugas.

Pelebelan gender menjadi standar fungsi manusia yang nyatanya tidak semua dimiliki seorang perempuan atau laki-laki. Misalnya pelabelan sifat, perempuan dicap Feminin (lemah dan penurut) dan laki-laki dianggap Maskulin (kuat dan tegas) sehingga seseorang yang tidak sesuai dengan standar label tersebut dianggap menyimpang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline