Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Telegram dan Jurus Eutanasia ala Kemenkominfo

Diperbarui: 15 Juli 2017   19:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kasus Telegram, sebaiknya pemerintah mencari alternatif lebih bijak - FOTO: Technocrunch.com

Jumat 14 Juli Indonesia menghebohkan jagat pemberitaan dunia. Tak ketinggalan kantor berita sekelas Reuters turut mengabarkan kepada dunia luar dengan berita bertajuk "Indonesia Blocks Telegram Messaging Service over Security Concerns." Ya, berita itu lahir karena keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika bahwa Telegram "haram" di Indonesia.

Tentu saja, menyeruaknya kabar itu hingga ke media internasional tak lepas dari gencarnya media dalam negeri mengabarkan keputusan "unik" tersebut. Terlebih media sekelas Kompas.com dan Detik pun menjadikan laporan atas keputusan itu dalam kategori berita pilihan. Tapi persoalannya bukan pada berita itu saja, tentunya, tapi lebih ke sisi betapa makin lucunya kebijakan yang lahir di tengah kita. Ibaratnya, seorang anak seharusnya mengikuti proses perkembangan; tapi beranjak remaja masih saja memilih kencing dalam celana.

Pemicu paling mengemuka dari rencana itu adalah keamanan. Suatu alasan yang dapat dikatakan sangat kontekstual dan aktual. Terlebih makin kencang kabar bahwa Indonesia menjadi sasaran gerakan transnasional semisal ISIS.

Mudah ditebak, kebijakan itu lahir nyaris bisa dipastikan karena sudut pandang pemerintah (baca: Kemenkominfo) berkutat pada efek Telegram dan rentannya aplikasi itu digunakan untuk hal-hal yang memiliki muatan negatif; agitasi hingga propaganda kalangan teroris.

Itu memang alasan logis satu sisi, karena memang Telegram memberikan keleluasaan kepada pengguna untuk berkomunikasi tanpa perlu mencemaskan komunikasi mereka tercium pihak yang tak mereka harapkan. Kerahasiaan sangat terjaga di aplikasi ini, dan ini konon menjadi alasan kuat pihak ISIS dan jaringannya getol memanfaatkan media ini.

Terlepas dari sangat logisnya alasan itu, dan betapa positifnya tujuan yang diinginkan, tak ayal gelombang protes tetap bermunculan.

Bagaimana tidak, Kemenkominfo yang menjadi dalang di balik keputusan ini dinilai lebih mirip orang yang sedang kehilangan akal.

Kemenkominfo lebih terkesan kelabakan untuk melokalisasi masalah, dan mendudukkan persoalan pada porsinya.

Setidaknya itulah yang saya tangkap dari perbincangan yang menyeruak di berbagai media sosial semisal Twitter dan Instagram. Alhasil tak sedikit yang mengeluarkan kalimat desakan lebih baik Presiden Joko Widodo mendepak Rudiantara dari kursi kementerian yang vital di tengah kencangnya teknologi informatika.

Mereka yang menolak kebijakan Kemenkominfo pun tentu saja tak kalah logis. Sebab, mereka melihat bahwa fakta merebaknya propaganda ISIS tak lantas menjadi pembenar atas keputusan yang terkesan mengekang.

Apalagi memang dengan kebijakan itu berdampak kepada iklim teknologi informasi dan komunikasi itu sendiri. Ada kesan kuat pemerintah tak mampu menyiasati perkembangan teknologi dengan langkah yang lebih "sehat", terutama di "skuat" Kemenkominfo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline