Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Tak Ada Kembang Api di Hari Buku Dunia

Diperbarui: 24 April 2017   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Buku bukan hanya jendela dunia, tapi jembatan untuk anak menuju tempat terbaik baginya kelak dewasa - Foto: @zoelfick"][/caption]Bagi para pecinta buku, tanggal 23 April itu adalah hari istimewa. Di tanggal itulah mereka merayakannya sebagai Hari Buku Dunia. Tak ada kembang api, tak ada konvoi, tak ada hal yang akrab menandai sebuah hari peringatan, tapi pecinta buku sedunia punya cara tersendiri merayakannya.

Di beberapa tempat, biasanya ada komunitas yang mengadakan diskusi di tanggal itu. Mereka membincangkan buku, apa yang dituangkan dalam buku, hingga kenapa sebuah buku bisa mengubah dunia.

Bagi para pecintanya, Hari Buku memang tak perlu dirayakan dengan ingar bingar. Seperti halnya mereka kerap menghabiskan waktu membaca di tempat-tempat sepi, saat merayakannya pun sering tak lepas dari nuansa sepi tadi.

Tapi dalam sepi itu juga mereka mencari. Dalam sepi itu mereka menggali. Masalah apa yang belum terpecahkan? Penemuan apa yang belum ditemukan? Atau, kebaikan apa yang belum dilakukan dan harus dilanjutkan?

Biasanya, itu yang kerap menyusup ke dalam pikiran para pembaca buku itu. Dalam sepi, pikiran mereka justru tak pernah sepi dari pertanyaan, dari pergulatan, dari upaya mencari cara; memberi jawaban atas berlaksa pertanyaan itu sendiri.

Tak jadi soal, apakah kelak mereka akan menemukan jawaban, atau justru mereka memilih menciptakan lebih banyak pertanyaan lagi. Bagi mereka, makin banyak pertanyaan justru jauh lebih penting dari sekadar jawaban.

Bagi mereka, jika semua terjawab justru itu tak ubahnya kematian; karena akal tak akan bekerja lebih keras, atau bahkan berhenti. Maka itu para pembaca buku dan penulisnya sama-sama bergulat, meski berusaha menemukan jawaban, tapi mereka pun berusaha lebih keras melahirkan pertanyaan lebih banyak.

Yang jelas, buku-buku telah memberi tenaga sangat besar kepada banyak orang sehingga mereka tercatat sebagai tokoh besar. 

Di Indonesia, para tokoh besar seperti Soekarno, H. Agus Salim, Mohammad Hatta, Pramoedya Ananta Toer, bahkan dalam penjara pun mereka menyempatkan membaca. Menariknya, meski mereka sebagian besar pernah merasakan penjara dan ada sebagian besar menghabiskan usia dalam penjara, mereka justru melahirkan banyak hal yang merangsang banyak orang.

Ya, mereka yang pernah di balik penjara dan tetap mencintai buku, kemudian justru tercatat sebagai orang-orang yang mampu membantu banyak orang agar memiliki pikiran yang tak pernah terpenjara. Di sanalah, mereka lantas dicatat oleh sejarah dengan tinta emas, meski di masa hidup nyaris tak terdengar bergelimang emas.

Bagi mereka itu para pecinta buku itu, penjara sama sekali tak menakutkan. Bagi mereka, yang mereka takutkan hanyalah jika pikiran terpenjara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline