Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Sastra Indonesia, Soal Sastra yang Belum Dikenal Dunia

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13285691531191102988

[caption id="attachment_168896" align="alignleft" width="300" caption="Gbr: istimewa"][/caption] Jika pagi ini berkesempatan untuk membuka koran lama, maksud saya tidak terlalu lama juga, sekitar jelang pertengahan tahun lalu, 2011. Kompas yang terbit pada tanggal 21 Mei ketika itu menurunkan berita kecil di sisi salah satu pojok. Judul berita itu adalah: Sastra Indonesia Tidak Dikenal.

Menariknya, bidikan soal kondisi sastra Indonesia yang diisyaratkan dari judul begitu rupa, mencuat dari peluncuran sebuah buku bertitel: Modern Library of Indonesia, yang dibarengi dengan sebuah diskusi Kebangkitan Sastra Indonesia di Panggung Dunia.

Pada ketika itu (19/5-2011), hadirlah beberapa figur yang disebut-sebut oleh sekian pegiat sastra sebagai sosok-sosok yang sudah malang melintang di jagad sastra nusantara, atau setidaknya pernah bersentuhan lama dengannya. Taruhlah misal Putu Wijaya, Mira Lesmana, dan Dewi Lestari.

Putu, di sana mengatakan, karya sastra Indonesia berbahasa Inggris penting untuk menunjukkan eksistensi. Menurutnya lagi, menghubungkan dengan kemungkinan laku tidaknya karya tersebut di luar, "itu tak perlu dipersoalkan."

Menarik karena Putu sangat realistis mengisyaratkan kemungkinan nasib karya anak negerinya jika harus dilempar ke pasar lebih luas yang menjangkau benua lainnya. Meski saya tidak bermaksud menuding bahwa Putu pada saat itu ingin menunjukkan skeptisisme atas posisi buah tangan pegiat sastra negeri ini disandingkan dengan orang-orang luar sana. Bahkan, ia juga mendorong pemerintah untuk mendukung upaya peng-inggris-an karya sastra dari Indonesia---yang lahir dan mengangkat berbagai lekuk liku tubuh Indonesia, lepas dari masih elok atau tidaknya.

"Tidak bisa lagi pakai diplomasi gaya lama," tegas Putu,"Pemerintah harus menyadari ini dan mendorong penerjemahan semua karya sastra."

Menyimak ulang kalimat itu, saya tercenung, benarkah semua karya sastra? Apakah tidak perlu dispesifikkan karya sastra dengan standar seperti apa? Toh, sampai hari ini saja, mereka yang gaek di sastra pun masih kelimpungan jika harus dihadapkan pada soal standar. Atau, jangan-jangan tidak perlu ada standar-standaran? Tapi jika ini jadi pilihan, apakah tidak justru membawa aroma borok ke luar negeri? Bukankah jika ingin memberi---jika 'ekspor' karya sastra adalah pemberian---maka idealnya pemberian itu adalah yang terbaik?

Atau, boleh jadi juga, itu terpaksa dilontarkan Putu disebabkan rasa kalap. Sebab, pada ketika itu, ia juga bercerita tentang pengalamannya  saat mengikuti festival sastra di Horisonte, Berlin, Jerman, pada tahun 1985. Katanya, dalam kunjungan tersebut ia tercekat saat seorang penyair Amerika Serikat menyatakan kaget dan baru tahu di Indonesia ternyata ada sastrawan.

"Ia kira kita hanya punya seni pertunjukan," cerita Putu Wijaya mengisyaratkan perasaan miris.

Sedikit saya menaruh heran, kenapa Putu tidak mengijinkan diri saja untuk berburuk sangka kalau penyair dari negeri yang konon super power itu mungkin bukan sosok yang rajin membaca?

Di moment yang serupa pula---pada peluncuran Modern Library of Indonesia--- John McGlynn yang juga merupakan Chairman Yayasan Lontar sekaligus penyunting seri Modern Library, menyebutkan bahwa pembaca asing tak hanya bisa mengikuti perkembangan sastra Indonesia, tetapi juga menghayati kekuatan politik sosial pembentuk Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline