Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sastra Indonesia, Soal Sastra yang Belum Dikenal Dunia

6 Februari 2012   23:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:58 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keniscayaan itu--yang disebut McGlynn---tak bisa ditampik, tapi saya jadi terbetik tanya, sastra harus mengabdi pada siapa?

Baik, taruhlah kita menerima tawaran Putu, atau dukungan tersirat dari McGlynn, untuk bisa 'menendang' bola sastra yang awalnya hanya bergulir dari kampung ke kampung---andai boleh menafikan penyebutan kota---kemudian harus melesat ke luar lapangan awal. Saya kira soal eksistensi bukan suatu hal yang terlalu penting. Apalagi, pegiat sastra saya kira bukanlah mereka yang terlalu memberhalakan soal dipandang eksis ataukah tidak. Sebab, tanpa mengutip teori siapa-siapa, sastra itu memang bukan barang yang harus demikian rupa dijajakan; memberi laba, membuat kaya.

Hanya saja, bagaimana menyelesaikan pekerjaan rumah di rumah kita sendiri yang sampai hari ini belum selesai; soal seberapa dikenal sastra Indonesia oleh anak bangsa sendiri, seberapa berpengaruh karya sastra yang ada di tengah kalangan masyarakat sendiri. Dan semua itu sampai sekarang belum ada jawaban yang tegas.

Entah harus percaya atau tidak, hari ini sastra di Indonesia, oleh sebagian kalangan masih dipandang sebagai hal yang tidak penting. Karena tidak memberi jawaban laiknya kajian-kajian akademisi dan cendekiawan di berbagai kampus-kampus ternama, sebagai buah dari kerelaan mereka merontokkan rambut sendiri menjawab persoalan bangsa.

Ideal untuk disahuti, jika itu sudah lebih berkuku dan sudah benar-benar mencengkeram kuat di tanah-tanah negeri ini, atau kelak harus menerima cibiran. Saya tidak tahu, apakah mereka di luar sana juga suka mencibir ataukah tidak. Tapi soal membawa "semua" karya sastra yang lahir di negeri memang seyogianya harus dikaji ulang.

Alasan yang bisa saya sebutkan tidak terlalu jauh dari; realitas bahwa ada masih banyak sekat-sekat yang diindahkan sedemikian rupa dan dituangkan ke dalam sekian banyak karya sastra. Entah sekat dengan alasan agama, suku, gender, dan sebagainya. Mengumbar hal itu ke luar, hanya membuat sastra menjadi pembarter untuk sebuah stempel bertulis: picik!

Ah, akhirnya, saya sendiri berharap tidak ada yang akan indahkan pesimisme saya ini. (FOLLOW: @zoelfick).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun