Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Masih Ada Cinta di Jalan Raya

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_218161" align="alignleft" width="350" caption="Gbr: Googleimages"][/caption] Jalanan Jakarta tidak hanya terkadang, tetapi acap diakui sering, jauh dari keramahan dan lebih akrab dengan kemarahan. Saat seseorang seharusnya bisa melakukan sesuatu yang sering dilakukan berupa kemarahan, namun bisa menggantinya dengan keramahan, justru itu akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Jelang siang, kalender berjalan dan sedang merangkak pada titik angka 6 di awal Agustus. Pelan, seperti pelannya mobil yang membawa saya bersama ibu angkat saya, Devijanti Iljas lengkap dengan Mas Wanto sebagai  sopir dan Mbak Mien yang menjadi suster pribadinya--karena ibu angkat yang kerap saya panggil dengan Bunda tersebut sedang menjalani proses penyembuhan dari strokenya--. Belum terlalu jauh mobil yang kami kendarai membelah jalanan seputaran TMII. Sampai sebuah tubrukan terdengar lumayan keras di sisi belakang mobil. Bergegas. Menepikan mobil di tempat yang lebih aman. Dengan ekspresi beringas sopir muda berusia 29 tahun itu turun dan menuju ke arah angkot yang ternyata angkot yang baru saja menubruk mobil kami. Saya membaca sinar mata Wanto terlihat sarat dengan marah, dan dari cara dia menghempas pintu mobil saat dia sudah keluar cukup menjadi isarat kemarahan menyelimutinya. Saya sendiri tidak mengatakan apa-apa melihat ekspresinya selain mengamati saja yang dilakukannya dan memperhatikan hentakan langkahnya menuju angkot yang juga sudah menepi di belakang kami. Dalam bayangan saya, sepertinya tangannya yang kekar dengan tinju yang sepadan dengan kekar tangannya bakal melayang ke gigi sopir angkot tersebut. Tapi yang terjadi? Sopir angkot keluar dari kendaraannya dan berkali-kali meminta maaf ke Wanto dengan ekspresi yang begitu tulus. Wanto sendiri, meski dari wajahnya masih tersisa kemarahan dan wajahnya masih terlihat sangar memilih memaafkan. Perjalanan berlanjut sampai tiba ke Bandung. Malam, kembali ke Jakarta lagi. Hujan deras yang mengguyur jalanan, kami menyepakati untuk menunggu hujan reda sambil menikmati nasi Padang di salah satu rest area di sisi tol. Saya tanyakan,"Apa tadi yang terpikir di pikiran Mas Wanto saat memilih untuk berdamai dengan sopir angkot tadi siang?" Dengan ekspresi lepas, ia menjawab,"Pertama, benturan tadi tidak sampai bikin mobil sampai lecet berat walaupun terdengar benturannya keras..." Saya hanya mendengarkan. "Kemudian, saya juga terpikir, mungkin saja sopir angkot itu hanya membawa angkot orang dan ia harus membayar sewa angkot ke yang punya angkot. Dan ia sendiri nyaris bisa dipastikan cuma memiliki uang yang sangat sedikit walaupun seharian bekerja menarik angkot, maka saya pilih untuk simpan kemarahan. Setidaknya, dengan demikian saya tidak sampai membuat pendapatannya yang sedikit jadi hilang sama sekali cuma karena tidak bisa memaafkan." Dan, malam ini saya tercenung sambil menatap dinding yang diam,"Ternyata pelajaran kebijaksanaan itu diajarkan Tuhan lewat jalan yang tidak bisa diduga." (ZA) Cibubur, 7 Agustus 2010




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline