Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Skandal DIKTI: Ironi Kuliah di Luar Negeri

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14099493901398127147

[caption id="attachment_357539" align="aligncenter" width="480" caption="Apakah DIKTI menepati janji? (Gbr: DosenTermarjinal)"][/caption]

Belajar di luar negeri, bagi sebagian kalangan terlihat sebagai mimpi indah. Hal itu juga dirasakan oleh seorang rekan saya, salah seorang dosen di daerah. Tak dinyana, nasib dirinya dan ribuan dosen yang menimba ilmu di Eropa dan beberapa belahan dunia lainnya, tidak lebih baik dari sebagian Tenaga Kerja Indonesia yang selama ini cenderung digambarkan paling menderita.

Ya, sebut saja nama rekan saya ini adalah Em. Saat masih sekampus dengan saya ketika masih sama-sama masih berjuang mengejar gelar sarjana, ia jauh lebih beruntung. Tidak saja ia berkesempatan untuk meraih gelar, melainkan ia juga berkesempatan untuk menempuh pendidikan hingga ke strata tertinggi, S3.

Pada saat S1 dan S2, ia nyaris tidak menemukan hambatan. Semua bisa dikatakan berjalan dengan mulus. Ia bisa menyelesaikan kedua jenjang pendidikan itu tepat pada waktunya. Petaka bagi dia justru pada saat ia sudah memilih profesi sebagai dosen. Lantaran ketika ia ingin lebih leluasa menempuh pendidikan teratas, justru ia berhadapan dengan dilema. Ia menjadi penerima beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI). Tapi justru di sini ia harus menghadapi fakta, ia harus tunduk pada peraturan ditetapkan pihak Dirjen tersebut.

Menurutnya, bukan sekali dua, ia dan rekan-rekannya dipaksa untuk menandatangani cek kosong hingga kontrak dengan klausul yang tidak jelas. Mereka harus berhadapan dengan pilihan, "Menerima aturan main DIKTI atau dipulangkan".

Sebagai intelektual, rekan dosen ini menyadari bahwa yang mereka hadapi adalah keculasan dan bahkan penjajahan atas intelektualitas yang telah susah payah mereka pupuk. Tapi, keadaan yang membuat mereka harus 'bergantung' kepada DIKTI, membuat mereka harus melawan jeritan hati kecil. Ya, dengan terpaksa menandatangani kontrak dan kwitansi apa saja yang diperintahkan untuk ditandatangani. Jika tidak, maka kesempatan meraih gelar tertinggi bisa saja dialihkan ke calon penerima lainnya.

"Mereka memiliki kekuasaan sangat besar, sehingga mereka tak merasa terbeban untuk menunjukkan sikap yang lebih menjurus ke sikap diktator di depan kami," ujar rekan ini, kepada saya, dalam sebuah obrolan baru-baru ini.

Saat saya menanyakan, apakah tidak ada upaya untuk melaporkan kasus ini ke pihak terkait, rekan ini mengaku dirinya tak rekan-rekannya tak memiliki organisasi yang bisa menjembatani ketika berhadapan dengan kasus seperti itu.

Sejauh ini, di antara para dosen yang mendapatkan beasiswa tersebut, baru terdapat satu orang saja yang berinisiatif menyampaikan laporan atas keculasan pihak DIKTI. Dosen ini menyampaikan masalah tersebut via UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan).

Hasilnya, pihak DIKTI dengan leluasa berkelit dari tuduhan itu. Dilansir salah seorang wartawan DETIK, Sukma Indah Permana, bahwa pihak DIKTI menyatakan, kabar dari dosen yang menyebutkan mereka kesulitan mencairkan dana beasiswa tak lebih sebagai hal mengada-ada.

Dirjen DIKTI, Djoko Santoso, kepada DETIK, menjelaskan tidak mungkin para dosen yang mendapatkan beasiswa belajar di luar negeri ini kesulitan mencarikan dana pendidikan. Ia berdalih, jika itu benar, maka sama artinya para dosen, sekaligus mahasiswa penerima beasiswa DIKTI itu bisa mati di luar negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline