Lihat ke Halaman Asli

Lebih Dekat dengan Romo Vincentius Kirjito, Pr

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1327943633292640532

[caption id="attachment_159294" align="aligncenter" width="640" caption="Romo Vincentius Kirjito, Pr"][/caption]

Jam 03.00 dini hari, 28 Januari 2011, taksi yang akan mengantarkan saya ke Bandara Soekarno-Hatta sudah datang. Lalu taxipun menelusuri malam yang masih sunyi. Di bandara tentu saja masih sepi karena pesawat saya baru akan lepas landas 06.05.

Pesawat terpaksa berputar selama setengah jam di atas Yogyakarta, sebab kabut pagi itu sangat mengganggu pendaratan. Pak sopir yang menjemput saya sudah berada di lobi bandara Adi Sucipto dengan memegang kertas yang bertuliskan lucu. “ESTHULIS KAHATI”. Perjalananpun lancar karena ditengah perjalanan Rina meng SMS alamat lengkap Romo Kirjito dengan petunjuk: ke kiri – ke kanan.

13279438712056780591

Kami sampai di Pastoran yang sederhana tapi asri, langsung disambut Romo Kirjito dengan ramah. Kopi dalam mug besar pun disajikan, dengan penganan jenang lot atau dodol khas Jawa Tengah dan ubi merah rebus, plus jeruk mandarin. Jadilah perbincang yang hangat bertiga bersama asistennya Romo Kirjito, yang belakangan saya baru tahu namanya mas Aji, sibuk memotret dan merekam perbincangan saya dengan Romo Kirjito. Mengapa saya katakan hangat, karena sambil berbincang kami bertiga udud nglecis (merokok tanpa putus).

“Memahami hakikat alam secara sederhana adalah dasar memulai segala kehidupan”. Itulah kredo Romo Vincentius Kirjito, Pr. yang  selama 11 tahun mendampingi masyarakat petani di desa Ngargomulyo Dukun yang terletak di lereng merapi. Oleh karena itu, alam harus dicermati terus.

Yang menjadi titik utama pengamatan Romo Kirjito, adalah air. “Di dalam masyarakat kita, pemahaman budaya air masih sangat miskin. Sumber air yang besar sekarang dikuasai oleh kapitalisme, sedang rakyat yang “nyanding” air melimpah bahkan gratis, kalau minum harus membeli air kemasan. Ini kontradiksi sekaligus ironi”.

Secara sederhana Romo memberi ilustrasi tentang budaya negatif  terhadap air. Kalau tiba-tiba datang hujan, orang selalu negatif, mengeluh:”Wah kok hujan, jadi tidak bisa dagang, tidak bisa kerja tani”. Kalau gerimis, orang tua selalu melarang anak-anaknya agar tidak keluar rumah, sebab kalau kegrimisan, nanti sakit. Untuk yang satu ini, Romo Kirjito dengan susah payah berhasil menyadarkan masyarakat. Sehingga secara keswadayaan masyarakat bergotong- royong membuat kaos dan celana untuk anak-anak kecil dengan tulisan: “Aku mandi air hujan”.

1327944138714296864

Dari dasar pemahaman ini, Romo Kirjito menemukan sebuah terma strategi bisnis yang ekologis. Ia tidak mungkin melawan kapitalis besar. Maka, kerja pertama yang dilakukannya adalah memberikan edukasi sederhana terhadap rakyat kecil yang selalu dianggap “sampah”. Pertama yang dilakukan adalah membangkitkan rasa percaya diri masyarakat. Jika rasa percaya diri sudah bangkit, maka proses pengembangan kapasitas selanjutnya akan mudah.

Manusia harus memiliki sikap positif terhadap air sejak dari detik pertama kehidupan. Jadi sejak dini, anak-anak harus diajarkan bersikap positif terhadap air. Jangan menganggap sepele air, sebab hidup kita, dan kehidupan alam semesta ini tergantung sekali kepada air. Sayangnya, secara alamiah, hampir setiap kita menganggap air sebagai hal yang sangat sepele. Sehingga masyarakat seenaknya membuang sampah plastik yang nyata-nyata tidak bisa didaur ulang secara alamiah. Akibatnya dimana-mana, sampah plastik menjadi masalah besar. Misalnya, kantong plastik,yang hanya kita pakai sebentar saja. Kalau kita membeli sesuatu di warung atau di toko, 2 bungkus rokok saja misalnya, selalu diwadhai plastik. Sampai rumah plastik tersebut langsung dibuang. Ini sikap hidup yang tidak efisien. Maka gerakan  kedua Romo Kirjito adalah gerakan mengumpulkan sampah plastik apa saja oleh tiap-tiap anggota masyarakat setempat. Pertanyaan berikutnya, kalau sudah dikumpulkan, lalu untuk apa? Akhirnya ditemukanlah korelasi antara sampah plastik dengan proses membangkitkan rasa percaya diri. Maka Romo kemudian meminta membuat pameran instalasi dari sampah plastik yang sudah terkumpul itu. Karena baru pertama, maka media memberitakannya sebagai sesuatu yang unik. Rakyat bangga, dan rasa percaya diri semakin meningkat. Gerakan ini sekalikus menyadarkan masyarakat untuk meninggalkan budaya “membuang” sesuatu yang dianggapnya benda sepele, tetapi bisa merusak alam.

1327944363947797465

Kita harus berterima kasih kepada air. Sebab jika panas, kita “adus”, “nek ngelak, ngombe”. Tetapi kita kok tidak pernah berterima kasih kepada air. Padahal sebagi orang-orang yang mengaku “beriman”. Pada air, tanda-tanda kehadiran Tuhan sangat dekat dengan kita, maka kita harus selalu bersyukur. Kehujanan ya nggak apa-apa, kegrimisan tidak masalah. Di daerah tropis ini, kita, bagaimana secara alamiah mampu memberikan jawaban: “Air itu apa toh?” Jadi Romo selalu merangsang orang untuk bertanya tentang air, dan mencari sendiri jawabannya. Kalau alam diberi pertanyaan terus, pasti nanti ada jawabannya. Yang penting, masyarakat harus terus didorog untuk bertanya kepada alam.

Terus terang, selama ini Romo Kirjito tidak pernah berhubungan dengan funding. Sebab funding malah akan bikin “mumet”. Penyadaran lebih penting, sebab dengan penyadaran, akan lahir swadaya masyarakat sendiri. Maka kalau Romo bikin acara selalu tanpa dana sepeserpun, tapi toh berjalan maksimal, karena kegiatan itu milik masyarakat sendiri, didiskusikan sendiri, diekspresikan sendiri secara maksimal. Ekspresi menjadi penting karena denga  berkspresi masyarakat akan memiliki rasa percara diri. Kalau masyarakat sudah memliki kesadaran seperti itu, maka soal kesadaran tentang keanekaragaman hayati,  akan berjalan dengan sendirinya. Jadi sikap terhadap alam, terhadap orang lain, dan terhadap keadilan, adalah 3 hal pokok untuk setiap anggota masyarakat memiliki harda diri. Sehingga “kemiskinan” bukan lagi hal yang harus dipandang negatif. Pilih mana “Miskin ning “kajen” (dihormati), opo “sugih – ning maling (kaya tapi mencuri)?

Mata air adalah anugerah alam, sumber pengetahuan, guru kehidupan dalam segala hal. Lewat ilmu pengetahuan, kalau kita melihat alam, maka di sana tersimpan banyak hal. “Jadi iman yang sejati adalah iman yang sayentifik, iman yang selalu berhadapan dengan alam, dari keterkaguman menuju spiritualitas. Orang miskin bukan karena nasib, tetapi ia belum memiliki iman yang sejati, yang selalu diperhadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang alam.Dalam kaitan dengan hal ini, saya mengambil point of view pada sampah plastik. Sebab ternyata sampah plastik merupakan bahan penting dan sangat relevan untuk edukasi.

13279446841675127200

Anak-anak secara alamiah selalu ingin tahu. Tetapi sistem pendidikan ita telah mengambil seluruh sifat alamiah anak itu. Pagi sekolah, sore mengerjakan PR, malam belajar. Lalu kapan ada waktu bermain. Jadi mestinya dengan keinginan belajar alamiah yang ada pada anak-anak, “sinau ki kudune neng omah” (belajar itu semestinya di rumah), belajar tentang alam secara alamiah, di sekolah tinggal ujian. Di dalam menimbulkan kesadaran pada anak-anak, Romo memalui hal yang sederhan. “Yen kowe adus, pirang cidhuk? Regane piro? Kalau kalian mandi,  berapa gayung? Harganya berapa?. Hitung sndiri ada berapa liter. Kalau kalian harus membayar, berapa rupiah? Disini anak-anak belajar matematika dan ekonomi secara nyata”. Matematika dimasukkan unsur air, sebab secara alamiah anak-anak belajar di rumah, di alam. Dengan demikian orang desa, apalagi yang miskin, mendapatkan sekolah yang bagus.

Untuk orang dewasa, pertanyaannya tentu lain. Harus dimulai dari apa yang mereka punya. “Kamu punya apa? Di alam punya apa? Di kebudayaan punya apa? (Kebudayaan dalam terminologi Romo Kirjito adalah berupa semua tindakan, atau yang dilakukan setiap manusia). Karenanya Romo Kirjito memilih edukasi berbasis alam dan budaya. Jadi metreka harus menjadi guru bagi dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Maka ketika umat setempat mau mengadakan kebaktian Natal misalnya, masyarakat ingin memasukkan unsur lokal dalam liturgi (tata upacara), ada Santa Klaus tetapi berpakaian wayang wong sebagai Semar. Membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak kecil sambil menggendong bayi Yesus. Yang bisa “jathilan” ya dimasukkan di dalam liturgi. Bahkan ketika pasangan muda-mudi ingin menikah di gereja, Romo bertanya kepada bapaknya sang pengantin yang seniman; “Kowe arep nanggo coro ndeso sing kepiye?” Jawab sang bapak, mau pakai gaya wayang. Maka setelah diskusi panjang Romo minta ketika memberkati pasangan pengantin memakai kostum wayang wong tokoh Anoman. Anoman itu “kethek”, kera. Rakyat yang miskin selalu tertindas dianggap “kethek”. Maka Romo memilih kethek sebagai solidaritas membela dan mendampingi sebagai kawan seiring masyarakat yang selalu di “kethek-kethek”-kan.

Mengapa pemerintah selalu gagal? Karena berangkat dari teori yang muluk. Yang kami lakukan sebaliknya, mulai dari masalah yang ada dan biasa. Sebisanya masyarakat mengekspresikan sendiri, tidak harus ini – tidak harus itu. Bukan bagus atau jelek ukurannya: “Ning iso – opo ora iso”. (Bisa atau tidak bisa). Sehingga setiap rapat bisa kita gunakan untuk sebuah kancah, dimanfaatkan untuk mengubah paradigma. Proses dipikirkan – diekspresikan – lalu menjelma dalam bentuk ekologi – kebiasaan – dan budaya menjadi sebuah kesatuan. Lagi-lagi ini filsafat dasar tentang air. Karena air tidak ada pemimpinnya, maka masyarakat sesungguhnya juga  tidak perlu pemimpin. Yang diperlukan adalah “konco srawung” – sahabat untuk bercengkerama, maka yang saya lakukan bukan pendekatan institusi tetapi“srawung karo wong ndeso. Maka Romo Kirjito di masyarakat lereng Merapai lebih disapa dengan “Lik Kir”. Ia terima sapaan itu meski masyarakat memiliki persepsi seolah merendahkan. Tapi Romo memaknaninya justru sebagai keakraban. Juga sebagai teman masyarakat desa yang memang selalu direndahkan atau dianggap sepele. Jadi sapaan “Lik” diterimanya sebagai kecelakaan yang justru menjelma sebagai bagian Romo dari masyarakat yang banyak direndahkan itu.

“Tugas pemimpin mestinya malakukan pembebasan rakyat dari penindasan dalam bentuk apapun. Maka saya selalu mengambil peran membela wong cilik. Sebab dengan begitu saya bisa memahami betul problema hidup masyarakat. Caranya srawung dengan masyarakat, kalau malam dengan tukang ronda. Dengan demikian saya bisa mengajak masyarakat berkespresi secara alamiah sesuai alam lereng Merapi. Pelajari budayanya, pelajari manusianya, kebiasaannya, lalu bersama-sama mereka kita melangkah sebagai teman seiring seperjalanan merenungkan masa lalu, memikirkan kekinian, dan merancang masa depan secara alamiah dan ilmiah.

Selama 2 tahun Romo Kirjito membangun fondasi sehingga masyarakat Lereng Merapi memiliki harga diri lewat ekspresi. Edukasi berbasis alam, ternyata sangat ampuh untuk mendorong masyarakat berswadaya dalam segala hal. Sembilan tahun  berikutnya, Romo tinggal tut wuri handayani. Apapun yang diputuskan dalam diskusi masyarakat selalu dihargainya. Dengan begitu masyarakat benar-benar merasa dimanusiakan. Sebelas tahun cukup sudah, harus berpisah karena Romo dipindah tugas di Klaten. Ia memulai derngan sudut pandang baru, sebab masyarakat di Klaten tentu berbeda dengan masyarakat Lereng Merapi.

Tanggal 13 Mei 2011, dalam keadaan berbaring di kamar ICU, Romo mengirim SMS untuk kata pengantar buku kenang-kenangan ang ditulis oeh orang tua, dewasa, remaja, anak-anak. Judulnyapun khas bahasa Lereng Merapi:

KRIWIKAN TUK MANCUR

ALAM SAWEGUNG KUWI GURUKU

KABEH UWONG KUWI GURUKU

SINAU BEBARENGAN

TAKON BEBARENGAN

MINULYO GUSTI ING SALAMI-LAMINIPUN

Setelah kami dijamu makan siang yang sederhana, maka kamipun meluncur ke Desa Ngargomulyo Dukun yang dari Muntilan kira-kira menempuh perjalanan setengah jam.

Sampai di sana rupa-rupanya umat Katolik baru bubar Missa. Jadilah kami disapa dengan khas sapaan Jawa dengan keramahan yang tulus.

Dari observasi sore hari, Nampak perubahan yang signifikan dibanding kondisi 11 tahun yang lalu, dimana rumah masih berdinding gedheg. Rumah Mas Legimin, yang juga asisten Romo memberikan pelatihan sekarang sudah bertembok. Padahal ia tetap setia bertani bersama isterinya. Rumah penduduk juga ditanami daun bawang, baik dipagar rumah maupun di genteng. Tanaman selada pun juga banyak dalam bentuk hidrophonik, cabe apalagi. Jadi untuk keperluan sayur mayor setiap hari masyarakat yang rata-rata petani, tidak perlu membeli sayuran.

Malam harinya kami didatangi 4 tokoh masyarakat, tokoh informal yang menanyakan segala hal. Jam 3 pagipun perbincangan kami akhiri.

1327945053903926482

Pagi hari, masih berkabut, saya diajak mas Aji ke sumber air yang dibuat untuk judul buku kenangan di atas. Ada sungai kecil di atas yang airnya dari hasil penduduk membelah bukit agar bisa dialiri dari tuk, atau sumber air yang berada di atas bukit. Sehingga sawah petani bisa mendapatkan air secara kontinyu. Alam juga dipelihara secara alamiah, hanya di samping-samping rumah ditanami tanaman yang sebenarnya bisa diolah menjadi obat herbal. Dan ini tengah dikerjakan oleh mahasiswa-mahasiswi Universitas Soegiyopranoto yang sedang KKN di desa tersebut.

Kehidupan gotong-royong masih lekat. Karena kami juga menyaksikan puluhan warga sedang merakit bambu untuk konstruksi atap rumah salah satu warganya. Mereka bekerja tidak mendapat upah. Nahkan ada anak kecil yang ikut memaku reng, dudukan untuk genteng. Wahyu memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah, kini berumur 13 tahun tapi badannya masih seperti anak umur 6 tahun Ia memilih memelihara ayam, bebek, menthog, kambing, supaya bisa membantu ekonomi ibunya. Sudah berjalan setengah tahun, tetapi ketika Ruwahan kemarin, banyak orang yang membeli unggas peliharaannya. Ia tidak membawanya ke pasar, tetapi pembeli datang ke rumahnya.

13279454451110941080

Siang harinya jam 11, warga mendapat kunjungan team pendamping Perkebunan Inti Rakyat. Meraga disuguhi karawitan anak-anak SD yamg sudah cukup mumpuni. Siapa yang menerima tamu tersebut? Anak-anak SD, SMP, SMA, dan remaja yang putus sekolah, tetapi rasa percaya dirinya sudah terbangun secara kokoh. Belajar kepada anak-anak merupakan tahap awal untuk memahami alam.

Dari perbincangan dengan warga, 11 tahun karya Romo Kirjito di Lereng Merapi telah membangkitkan mereka menjadi pribadi yang percaya diri. Perbedaan dengan sebelum Romo Kirjito berkarya di sana, sangat jauh. Terbukti dari perkakas yang mereka miliki harganya tentu tidak murah.

Bagi saya Romo Vincentius Kirjito Pr, sosok yang sangat merakyat. Sebab, selain karyanya sudah terpublikasikan secara luas, perjuangan dan metodanya bisa menjadi inspirasi banyak orang. Lewat sebuah mata air yang sangat kecil “: kriwikan”, telah mengalir kebijaksanaan hidup masyarakat di sekitarnya. Alam semesta itu guruku, setiap orang itu guruku, belajar bersama-sama, bertanya bersama-sama, Tuhan sangat mulia selama-lamanya.

13279457871060831244




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline