Lihat ke Halaman Asli

SNF FEBUI

Badan Semi Otonom di FEB UI

"Toxic Masculinity" dalam Parenting: Kudapan Rumah yang Tak Kunjung Musnah

Diperbarui: 21 November 2021   21:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SNF FEBUI 

Perbincangan terkait gender selalu mengusik, permasalahannya yang sudah pelik bersamaan dengan beragamnya pandangan membuat segala perbincangannya menjadi sangat berbelit dan menguras energi. 

Namun, tidak selayaknya kondisi tersebut dijadikan sebagai sebuah alasan untuk menghindarinya. Urgensinya nyata, tidak hanya menyangkut kemaslahatan perempuan, tetapi juga laki-laki. 

Dalam perjalanannya, kebanyakan permasalahan yang ada merupakan produk dari sebuah proses yang panjang. Salah satu asal usul dari sebuah proses yang panjang tersebut adalah keluarga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh European Institute for Gender Equality, keluarga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam terciptanya salah satu permasalahan gender, yaitu ketidaksetaraan gender [1].

Selain ketidaksetaraan gender, terdapat pula permasalahan gender lainnya yang boleh jadi bermula dari keluarga. Salah satunya adalah sebuah permasalahan yang sering kali dibudayakan dalam proses parenting dan melibatkan laki-laki sebagai objek utamanya, yaitu toxic masculinity

Sebagai konsekuensinya, dalam banyak kesempatan, laki-laki tidak hanya tumbuh bersama dengan hormon testosteron yang menyertainya, tetapi juga berbagai slogan yang memanjangumurkan toxic masculinity

Mulai dari "Boys don't cry", "Boys will be boys", sampai dengan "Boys don't play with dolls", semua seakan menciptakan standar benar dan salah terkait bagaimana seharusnya laki-laki bertindak. 

Dampaknya beragam, seorang anak laki-laki dapat tumbuh menjadi seorang yang tidak menyadari pentingnya mengekspresikan perasaan, bahkan seorang anak laki-laki juga dapat tumbuh menjadi sosok yang sesungguhnya tidak ia inginkan.

Apa itu Toxic Masculinity?

Dalam harian The New York Times, toxic masculinity dijelaskan sebagai sebuah konsep yang sudah ada sejak dahulu, tetapi mulai mencuat dan ramai menjadi perbincangan dalam kurun waktu belakangan ini. 

Adapun, toxic masculinity sendiri dapat diartikan sebagai sebuah gagasan tradisional tentang maskulinitas, yaitu gagasan yang memandang bahwa laki-laki tidak selayaknya mengekspresikan perasaannya secara terbuka, laki-laki harus selalu kuat dalam keadaan apa pun, dan hal-hal selain yang berkaitan dengan kekuatan akan membuat laki-laki menjadi lemah [2]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline