Lihat ke Halaman Asli

Siwi W. Hadiprajitno

Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

"Oh, Aku Pusing, Ibu"

Diperbarui: 16 Juni 2019   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Anak sulung-ku. Anak lelaki. Kulitnya seputih kulitku. Matanya sesipit mataku. Senyumnya, adalah senyumku. Semakin besar ia sekarang. Melihatnya sekarang, terbayang saat ia masih dalam dekapan lima tahun yang lalu. Kadang aku bercanda begini pada Pay:

"Ibu bisa mengenali suara Pay lho di sekolah play group, diantara banyak temanmu yang berceloteh, Ibu tau yang mana suaramu."

Dan itu so true, dengan insting seorang Ibu yang dikaruniakan oleh Tuhan kepadaku, aku bisa mengenali frekuensi suara tangisan bayi-ku meskipun ada delapan bayi menangis pada saat yang bersamaan di ruang bayi yang terpisah dari tempat tidurku di hari-hari setelah aku melahirkannya di sebuah rumah bersalin.

Siang bolong di hari minggu. Tablet layar sentuh berkoneksi internet di hadapanku. Yang kulakukan adalah membalas email-email dari rekanan kantor yang tidak sempat kulakukan di kantor. Duduk di ruang tengah sambil sesekali mengawasi dua buah hatiku adalah surga tersendiri. Secangkir capuccino hangat mengepul. Apalagi angin bertiup sejuk di luar sana. Hujan baru saja reda.

Dari ekor mataku, aku perhatikan Pay, panggilan sayangku untuk Si Sulung. Berjalan menuju rak buku dengan gayanya yang khas. Cara berjalannya yang kukagumi: riang dan ringan. Tangan mungilnya mendarat di sebuah buku berukuran A3. Kakinya berjinjit maksimal saat meraihnya.

Kubiarkan ia berusahaa sendiri tanpa bantuan. Karena suatu saat kelak, Nak, kau harus bisa mengerjakan semuanya sendiri, tanpa pertolongan orang tuamu. Hanya doa dari kami yang mengiringimu setulus-tulusnya.

Setelah berhasil mengambil buku yang ternyata adalah buku gambar, Pay berjalan meletakkan buku gambar itu di lantai. Lalu ia beranjak lagi. Kali ini menuju meja kerja di sudut ruangan. Saat itu, adiknya yang berusia dua tahun, Paras baru keluar kamar dengan mata mengerjap-kerjap. Paras menghambur padaku. Memelukku seperti yang biasa dilakukan 'gadis' berusia 2 tahun ini setiap bangun tidur.

Aku kembali ke layar sentuh di depanku. Menekan tombol powernya sebentar. Menangkupkan covernya, dan meletakkan di sebelahku. Perhatianku tertuju pada mereka berdua. Kali ini kulihat, Pay meraih tas sekolahnya yang berwarna biru cerah. Di belakangnya, tampak mengekor Paras. Gadis kecil itu rupanya menuju tas punggungnya juga.

Saat Pay mengeluarkan sekotak pensil warna, Paras pun memasukkan tangan mungilnya ke dalam tas berwarna pink bergambar Rapunzel itu. Dan hup! Sekotak krayon berhasil dia keluarkan dari tas kesayangannya itu. Saat Pay menuju buku gambar A3 nya yang sudah ada di lantai, Paras mengikutinya dari belakang.

Selanjutnya, Pay nampak asyik menggoreskan pensil dan pensil warna diatas salah satu lembaran buku gambar. Laut dan air! Adalah obyek kesukaan Pay. Dia sangat bersemangat hingga seperti sedang memasuki sebuah dunia yang orang lain tak boleh memasukinya. Haha, kubayangkan, bahkan mengetuk pintu dunianya pun aku dilarangnya.

Sedangkan adiknya, menyadari bahwa dia hanya punya krayon saja, bangkit dan berjalan menuju mesin printer kami. Dia raih beberapa lembar kertas A4 kosong dengan hati-hati (meskipun demikian, sisanya tetap saja berantakan).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline