Lihat ke Halaman Asli

Siti Chairani Alsyifa

Mahasiswa S1 Ekonomi dan Bisnis Islam

PPN 12 Persen, Penggerak atau Pengerem Ekonomi Rakyat?

Diperbarui: 24 April 2025   10:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang mulai berlaku pada awal 2025 menimbulkan perdebatan apakah kebijakan ini menjadi penggerak atau justru pengerem ekonomi rakyat. Analisis berikut menguraikan dampak dan implikasi dari kenaikan PPN tersebut.

Kenaikan PPN berpotensi menurunkan pendapatan disposabel masyarakat karena sebagian pengeluaran mereka kini harus dialokasikan untuk membayar pajak yang lebih tinggi. Dalam kerangka teori ekonomi Keynesian, penurunan konsumsi rumah tangga akan berdampak langsung pada pengeluaran agregat, sehingga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi jika tidak diimbangi oleh pengeluaran lain seperti investasi atau belanja pemerintah.

Kelompok masyarakat menengah ke bawah yang memiliki Marginal Propensity to Consume (MPC) tinggi akan merasakan dampak lebih besar karena mereka mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok dan barang sekunder yang kini terkena PPN lebih tinggi. Misalnya, kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari dan barang sekunder bisa membuat konsumsi mereka menurun, yang berimbas pada melemahnya sektor riil terutama UMKM.

Namun, pemerintah menegaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah, seperti jet pribadi, kapal pesiar, rumah mewah dengan harga di atas Rp 30 miliar, dan senjata api tertentu. Barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, telur, jasa pendidikan, dan kesehatan tetap dikenakan PPN 0 persen atau tidak mengalami kenaikan tarif. Dengan demikian, dampak langsung pada masyarakat kelas bawah diharapkan minimal.

Kenaikan PPN ini merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara guna menutup defisit anggaran dan membiayai pembangunan berkelanjutan, termasuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Tarif PPN 12 persen masih tergolong kompetitif di kawasan ASEAN dan dianggap efisien dalam pengumpulan pajak karena basisnya luas.

Pro: Kenaikan PPN dapat meningkatkan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan untuk pembiayaan pembangunan dan program sosial. Kebijakan ini juga dianggap adil karena hanya menargetkan barang mewah, sehingga tidak membebani kebutuhan pokok masyarakat.

Kontra: Meski kenaikan hanya untuk barang mewah, efek tidak langsung akan terasa pada harga bahan baku dan barang lain yang digunakan UMKM dan masyarakat luas, sehingga berpotensi menurunkan daya beli dan memperlambat konsumsi rumah tangga. UMKM yang merupakan tulang punggung ekonomi rakyat bisa terdampak negatif karena kenaikan biaya produksi dan distribusi.

Kenaikan PPN menjadi 12 persen pada dasarnya adalah langkah fiskal yang rasional untuk memperkuat penerimaan negara dan mendukung pembangunan nasional. Dengan membatasi kenaikan hanya pada barang dan jasa mewah, pemerintah berusaha menghindari beban langsung pada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Namun, dalam praktiknya, efek regresif PPN tetap ada karena kenaikan biaya pada barang mewah dan jasa mewah dapat menimbulkan efek berantai pada harga barang dan jasa lain, terutama yang terkait dengan produksi dan distribusi barang kebutuhan pokok dan barang sekunder.

Oleh karena itu, kebijakan ini bisa menjadi penggerak ekonomi jika pemerintah secara simultan memperkuat program subsidi, bantuan sosial, dan dukungan bagi UMKM agar daya beli masyarakat tidak tergerus dan sektor riil tetap tumbuh. Tanpa langkah mitigasi tersebut, kenaikan PPN berisiko menjadi pengerem ekonomi rakyat, khususnya bagi kelompok rentan yang sudah menghadapi tekanan ekonomi pascapandemi.

Kesimpulannya, PPN 12 persen adalah pedang bermata dua:

Penggerak ekonomi apabila digunakan untuk membiayai pembangunan yang produktif dan disertai perlindungan sosial yang memadai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline