Terinspirasi artikel dari Pak Budi Susilo yang berjudul Mampu Berbincang Bahasa Daerah, Tetapi Tak Mahir Menuliskannya, saya bersemangat menulis pengalaman pribadi tentang hal yang sekilas sama namun dari sudut pandang berbeda.
Saya dilahirkan dari kedua orangtua yang berbeda etnis. Ayah saya bersuku Jawa dari Semarang, Jawa Tengah dengan latar belakang keluarga priyayi yang sangat menjunjung tinggi tata krama berbahasa dan adab kebiasaan bangsawan jawa pada masa kolonial. Sedangkan Ibu saya bersuku Melayu asal Sungailiat, Pulau Bangka. Latar belakang beliau adalah keluarga religius dan mengedepankan disiplin, kejujuran dan ketegasan.
Saya lahir di salah satu kota di Jawa Tengah tempat di mana Ayah saat itu berdinas di Pabrik Gula. Sekira usia lima tahun, keluarga kami pindah ke Brebes, masih berkaitan tugas dinas ayah di wilayah perkebunan di Jawa Tengah.
Memasuki pergaulan sekolah dasar, hampir seluruh teman-teman saya adalah anak-anak dari lingkungan pabrik gula yang para orangtuanya berasal dari wilayah Jawa Tengah bagian timur dan Yogyakarta. Sehingga bahasa pergaulan yang digunakan lebih aktif boso wetanan alias bahasa orang wilayah timur atau selatan Jawa Tengah. Kecuali teman-teman yang asli penduduk setempat yang menggunakan bahasa ngapak Brebes.
Sedangkan keluarga saya sendiri, sehari-hari menggunakan bahasa Jawa. Sehubungan saya anak bungsu, maka saya harus menggunakan bahasa kromo inggil kepada Ayah dan Ibu. Kepada kakak-kakak, saya campur saja, kadang menggunakan bahasa kromo alus, kadang ngoko. Demikian gaya pendidikan berbahasa keluarga kami di rumah.
Hal tersebut pun diterapkan dengan ketat saat berkumpul keluarga besar Ayah. Sependek ingatan saya, setiap kali Eyang Putri, paman dan tante datang atau kami yang berkunjung silaturahim, maka bahasa halus pada mereka harus dijaga. Cara makan menggunakan sendok dan garpu yang tidak boleh berdenting, posisi siku tidak boleh di atas meja, mengunyah tanpa suara, mulut harus mingkem, minum tidak boleh terdengar nyruput, apalagi terdengar suara cleguk-cleguk atau bersendawa.
Jika sampai itu terjadi, teguran khas dari Eyang Putri: "Lho, suworo opo kuwi? Putune sopo tho kok koyo ngono maeme?" (Lho, suara apa itu? Cucunya siapa ya kok seperti itu makannya). Wah, bisa-bisa kena dobel teguran dari ayah atau ibu.
Contoh lain soal adab, semasa ayah masih hidup, jika beliau sedang berbicara menasihati atau sedang marah, kami menundukkan wajah. Tidak ada yang berani mendongak atau menatap wajahnya. Tak ada yang membantah, kecuali diberi kesempatan bicara. Itu yang saya perhatikan diam-diam saat mengintip kakak-kakak kena tegur beliau.
Berbeda halnya dengan Ibu. Beliau malah menuntut kami menatap mata beliau, memandang wajah dan mendengar seksama apa yang disampaikan. Bagi ibu, hal tersebut bukan bermaksud kurang ajar, tetapi mengajarkan agar anak-anaknya paham maksud atas ketegasan ibu.
"Lihat ibu, jangan nunduk!" Dan, ibu akan tahu anak-anaknya berbohong atau tidak, dari mata, mimik wajah dan gerakan bibir. Maka, tak ada yang berani membantah ayah dan ibu, meski adab berdiskusinya sangat berbeda.