Lihat ke Halaman Asli

Sindy Aritonang

Aku menulis, maka Aku ada

Agenda "Menggaet Milenial" dalam Kebijakan Pertanian Kita, Perlukah?

Diperbarui: 21 Mei 2019   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di era globalisasi semua hal begitu terasa cepat dan mudah. Perputaran bisnis dan industri berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan siklus supply-demand yang menyertainya. 

Namun satu hal yang pasti mengenai perkembangan zaman ini adalah tantangan yang datang dari besarnya pertumbuhan populasi, tidak stabilnya pasokan makanan, degradasi sumber daya alam, perubahan iklim, hingga stabilitas bahan bakar dunia.

Thomas Robert Malthus melalui teori Pertumbuhan dengan metode deret ukurnya menyatakan bahwa Revolusi Hijau terjadi karena semakin meningkatnya jumlah penduduk di dunia, namun tidak diiringi dengan peningkatan jumlah produksi pangan. Oleh sebab itulah, industri pertanian seperti komoditas hortikultura, perkebunan, hingga peternakan merupakan aspek strategis yang harus selalu dijaga keberlanjutannya.

Begitu kompleksnya perkara ketahanan pangan hingga seluruh aspek sangat diperhatikan keberlangsungannya, mulai dari tercukupinya daya dukung lingkungan dan sumber daya alam/SDA (aspek geografis), infrastruktur penyokong industri, ketersediaan stok pangan, regulasi, hingga sumber daya manusia/SDM baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Melawan Stigma: Mempertahankan Keberlanjutan Profesi Petani 

Tulisan ini pada dasarnya merupakan refleksi penulis yang melihat kegentingan dari merosotnya kehadiran pemuda dalam pembangunan sektor pertanian dalam segi kuantitas dan kualitas yang merupakan aset ketahanan pangan Indonesia ke depan.

Mengutip statistik ketenagakerjaan pertanian, tenaga kerja muda pada usia 15-29 tahun dalam rentang tahun 2008-2012 terus mengalami penurunan hingga pada angka 8.081.531 jiwa (disarikan dari RenStra Kementan 2015-2019, hlm.37). 

Fakta yang ditemukan dalam penelitian Kementan pada rentang tahun 2010-2014, bahwa perkembangan tenaga kerja yang berada pada sektor pertanian jauh timpang dibandingkan angka kenaikan pada sektor nonpertanian.

Minimnya minat pemuda milenial pada sektor pertanian cukup disayangkan, sebab pemuda milenial memiliki potensi yang sangat besar sebagai agen pembaharuan industri pertanian dan pangan Indonesia. Dengan keahlian teknologi informasi digital yang fasih, energik, dan inovatif, para pemuda Indonesia telah banyak melakukan perubahan budaya korporasi dan berhasil melahirkan inovasi korporasi baru seperti yang dikenal dengan Unicorn hingga e-market

Mendahulukan produktivitas dan efisiensi, ditambah dengan penggunaan teknologi digital, perusahaan unicorn ini bahkan menyerap begitu banyak tenaga kerja misalnya pada industri jasa. Tentu potensi pemuda yang besar ini juga sangat dibutuhkan pada sektor pertanian khususnya dalam meningkatkan produktivitas lahan dan penguatan kedaulatan pangan.

Penurunan jumlah tenaga kerja muda pada sektor ini tentu didorong banyak faktor, dan salah satu yang paling berpengaruh ialah stigma umum. Stigma yang terbangun dalam masyarakat tentang profesi petani masih ternilai memprihatinkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline