Lihat ke Halaman Asli

S Eleftheria

TERVERIFIKASI

Penikmat Literasi

Saatnya Kamu Harus Meninggalkan Media Sosialmu

Diperbarui: 5 Agustus 2022   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pengguna media sosial. (sumber: businessinsider.com via kompas.com)

Sadar atau tidak, penggunaan media sosial telah meroket dalam satu dekade terakhir. Orang-orang, termasuk kamu mungkin, terkadang menghabiskan lebih banyak waktu di Facebook, Instagram, Snapchat, Twitter, atau aplikasi media sosial lainnya---dan setiap kali memiliki waktu luang, kebanyakan orang pun memeriksa umpan berita hanya untuk melihat apakah ada sesuatu yang baru yang telah terjadi.

Baik mengakuinya maupun tidak, sebagian orang seakan-akan terkukung pada pandangan mengenai peran penting keberadaan media sosial dan hampir semua melakukan kesibukan terhadapnya. 

Namun, satu hal yang cukup menarik perhatian adalah penggunaan media sosial telah dikaitkan dengan tingkat kesepian dan depresi yang tinggi---dan itu semacam menjelaskan bahwa orang yang lebih sering menjelajah media sosial daripada yang lain, ia tampaknya yang paling menderita. Mengapa bisa demikian? Bagaimana jika kamu yang mengalaminya?

Salah satu kelakuan media sosial adalah menunjukkan kepada khalayak umum perihal kehidupan palsu orang lain. 

Contoh pada satu kasus, misalnya, semua orang yang kamu kenal selalu berlibur eksotis. Mereka mengadakan pesta makan malam yang luar biasa dengan teman-teman dan mereka berada dalam hubungan bahagia yang sempurna, sedangkan kamu? 

Kamu hanya duduk diam dan menjalani kehidupan yang membosankan, sementara orang-orang di luar sana selalu menikmati kesenangan mereka sendiri meski itu jauh dari kenyataannya.

Nah, mungkin karena tidak ingin terjebak ke dalam pendangan negatif orang lain, aspek positif dari kehidupan beberapa orang adalah satu-satunya hal yang dapat dibagikan mereka melalui jejaring sosial. 

Ketika mengalami masa-masa sulit, kebanyakan orang pun tidak benar-benar ingin orang lain tahu atau mengungkapkan kepada publik bahwa mereka sedang berjuang hidup, termasuk ketika merasa sedih atau tertekan. 

Jadi, membagikan momentum hari bahagia dianggap mereka sebagai suatu kewajaran. Mereka berasumsi bahwa orang lain akan melihat kehidupan mereka selalu penuh kesenangan seperti itu, padahal mungkin mereka memiliki lebih banyak masalah daripada yang orang lain kira. 

Mereka tidak menunjukkan kepada publik hal-hal di balik layar karena itu tidak menarik untuk dijadikan sebagai sorotan orang-orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline