Lihat ke Halaman Asli

Shafira Agustina Rachmat

Mahasiswi Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Terlalu Lama Work From Home (WFH) Bisa Sebabkan Sick House Syndrome?

Diperbarui: 23 Februari 2022   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Sick House Syndrome (Sumber: iStock)

Sudah hampir dua tahun berlalu semenjak Work from Home (WFH) pertama kali diberlakukan, setelah SARS-CoV 2 muncul di Wuhan pada akhir 2019. Bahkan akhir-akhir ini, dunia kembali dikejutkan dengan kemunculan berbagai varian baru Covid-19, seperti Delta dan Omicron. Hal ini menjadi momok bagi para pekerja, pelajar, dan orang-orang lainnya yang sudah jenuh untuk melakukan berbagai aktivitas di rumah maupun dibatasi mobilisasinya. Karena dengan kemunculan varian baru Covid-19, tidak menutup kemungkinan kebijakan WFH akan diberlakukan dan diperpanjang kembali. 

Kebijakan karantina di rumah atau work from home tentunya cukup efektif dalam mencegah penyebaran COVID-19. Namun, di samping segala kelebihannya, WFH juga memiliki dampak terhadap kualitas udara dalam ruangan. Karena segala aktivitas menjadi dilakukan di rumah, WFH membawa risiko individu dan lingkungan dari lingkungan luar ke dalam rumah sehingga orang dapat secara tidak sengaja terpajan penyebab gejala sick building syndrome atau sick house syndrome

Para peneliti di bidang polusi udara menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara prevalensi Covid-19 dengan pengurangan polusi udara luar ruangan karena berkurangnya transportasi dan kegiatan komersial. Namun, kebijakan karantina di rumah justru dapat menyebabkan peningkatan polusi udara dalam ruangan karena lebih banyak aktivitas seperti memasak dan pekerjaan kantor melalui telecommuting (Hosseini, Fouladi-Fard and Aali, 2020).

Sick building syndrome (SBS) merupakan salah satu masalah kesehatan yang terdiri atas sekumpulan gejala akibat lingkungan kerja yang berhubungan dengan polusi udara, kualitas udara dalam ruangan, serta buruknya ventilasi. SBS dapat muncul pada penghuni gedung/ruangan disertai dengan gejala umum pada mukosa dan kulit seperti sakit kepala, kelelahan, iritasi pada saluran pernapasan bagian atas, tenggorokan, mata, hidung, tangan, juga kulit wajah. 

Selain itu, terjadinya gejala SBS juga dikaitkan dengan faktor risiko individu seperti kecemasan, stres, merokok, kurangnya komunikasi, pengasingan, serta faktor risiko lingkungan domestik seperti polusi suara, ketidakpuasan pencahayaan, polusi bau, tingkat ventilasi yang rendah, karakteristik bangunan, juga polutan udara dalam ruangan (Li et al., 2015).

Lingkungan rumah tempat tinggal memiliki hubungan yang erat dengan sick house syndrome (SHS). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nakayama (2019), terdapat hubungan antara SHS dan tempat tinggal, di mana hal-hal seperti kondensasi dalam rumah, kelembaban dan odor dalam rumah, frekuensi penggunaan parfum atau deodoran, serta efisiensi insulasi rumah berpengaruh terhadap terjadinya SHS. 

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Li et al. (2014) dan Burge (2004) menyatakan prevalensi SBS pada individu yang tinggal di bangunan dengan kondisi tidak sehat lebih tinggi dibandingkan bangunan yang kondisinya bersih.

Udara yang beredar dalam ruangan perlu diperhatikan selama melakukan WFH. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana udara bisa masuk ke dalam ruangan. Ketika hanya ada sedikit ventilasi atau jalur keluar masuk udara, tingkat pertukaran udara menjadi rendah dan tingkat polutan menjadi meningkat. 

Menurut Mainardi dan Redlich (2018), terdapat faktor-faktor yang dapat menyebabkan atau memperburuk dampak dari kualitas udara dalam ruangan, yaitu: (1) penggunaan bahan kimia di dalam ruangan seperti desinfektan atau racun serangga; (2) debu-debu pada furnitur yang melepaskan volatile organic compounds (VOCs); (3) kegiatan memasak; (4) pemanas dan mesin seperti tungku, filter, atau generator listrik yang digunakan di dalam ruangan; serta (5) polusi udara luar ruangan dari kendaraan, kebakaran, maupun sumber luar ruangan lainnya.

Sick house syndrome selama work from home dapat dicegah melalui berbagai cara. Pertama, meningkatkan tingkat ventilasi dan distribusi udara. Sistem pemanas, ventilasi, dan pendingin udara harus memenuhi standar ventilasi pada peraturan bangunan setempat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline