Lihat ke Halaman Asli

Peci Putih: Ungkapan Hati Sang Kakek

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Saat itu, aku dan keluarga besarku berada dalam peralanan menuju kota Tangerang. Maksud kepergian kami adalah untuk menjenguk paklik dan bulik yang sedang berbahagia karena Allah telah memberikan amanah seorang anak yang akan menjadi pelengkap keluarga mereka. Kami menuju ke sana dengan bus yang telah kami sewa.

Aku duduk di barisan bangku kedua. Teman duduk di sebelahku adalah saudara sepupu perempuanku, Neli. Neli duduk tepat di dekat jendela dan ia sedang asyik melihat-lihat pemandangan di sepanjang jalan. Di bangku depan kami, tepatnya bangku pertama, duduklah kakek dan nenek. Kakek lah yang duduk tepat di dekat jendela.

Kakek sudah sangat sepuh dan beberapa saraf bliau mngalami kerusakan yang menyebabkan beliau sangat sulit untuk bergerak dan berbicara. Aku mengawasi beliau kalau-kalau beliau membutuhkan sesuatu. Dengan perlahan beliau melepas peci putih di kepala beliau dan menggenggamnya dengan tangan beliau seakan benda itu adalah benda sakral. Tentu, benda itu adalah teman bliau saat bersimpuh di hadapanNYA.

Beliau ingin meletakkan peci tersebut di atas bantal yg berada di pangkuan teman duduk sebelah bliau yg sedang tertidur, yakni nenekku. Betapa beliau mengalami kesulitan meletakkannya hanya agar kedua tangan beliau bisa bertumpu pada apa pun yang bisa menahan beliau dari goncangan di perjalanan dalam bis yang tentu tak lebih berat dari goncangan cobaan beliau itu. Aku membantu beliau meletakkan peci tersebut.

Sesekali kakek memandang wajah nenek. Peci itu hampir terjatuh karena letaknya tidak stabil. Beberapa kali kakek mempertahankannya agar tidak jatuh dengan susah payah karena beliau kesulitan bergerak. Beberapa kali pula nenek bergerak dalam tidur beliau entah karena kurang nyaman atau apa, aku tidak begitu tahu.

Kakek merasa tidak enak hati menaruh beban si peci tersebut di atas bantal nenek. Beliau seperti merasa betapa nenek dengan sabar merawat beliau setiap hari di saat beliau menghadapi cobaan seperti ini. Aku yakin walau pun beberapa saraf beliau mengalami kerusakan, tetapi hati belau masih tetap hidup. Takut menganggu tidur nenek. lantas dengan perlahan kakek mengambil peci itu dan mnggenggamnya kembali.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline