Lihat ke Halaman Asli

Septiana Hasmita

Istri dan Ibu, fikrul Islam, menulis keprihatinan dan keresahan yang terjadi di masyarakat.

Tapak Tilas: Mengenal "Kampung Turki" di Banda Aceh

Diperbarui: 25 Juli 2023   16:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Tapak Tilas: Mengenal "Kampung Turki" di Banda Aceh


"Kampung Turki" adalah sebutan lain bagi Gampong Bitai yang ada di Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh. Posisinya berada sekitar 3,6 kilometer dari Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh, atau perjalanan kurang lebih sembilan menit dengan kendaraan roda empat.

Disebut Kampung Turki karena di sana terdapat situs sejarah berupa kompleks pemakaman orang-orang Turki yang hidup pada abad 16-an. Mereka terdiri dari para tentara, sekaligus ulama atau guru yang diutus oleh Sultan Sulaiman (Salim) II dari Kekhalifahan Turki Utsmani.

Mereka didatangkan ke Aceh untuk membantu Kesultanan Aceh Darussalam yang sedang menghadapi ancaman aneksasi dari Portugis. Adapun nama Bitai, berasal dari kata Baitulmaqdis yang konon dipakai pasukan tersebut untuk mengingatkan mereka akan tempat asalnya di Palestina.

Latar Sejarah

Dalam buku Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia yang disusun oleh Prof. A. Hasymy, Penerbit Al-Ma'arif halaman 213 disebutkan bahwa setelah Portugis berhasil menghancurkan Kesultanan Malaka pada 1511, sultan-sultan yang ada di wilayah Sumatra Utara bersepakat menyatukan kekuatan politik dan militer di bawah sebuah negara yang kuat dan berdaulat. Lahirlah Kesultanan Aceh Besar atau Aceh Darussalam pada 1514 di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514---1530). Kesultanan ini mentakbirkan diri sebagai kekuatan politik Islam yang menjadi pusat dakwah dan mengemban jihad, khususnya di wilayah Nusantara.

Tentu saja kondisi ini menjadi ancaman bagi tujuan penjajahan Portugis. Akhirnya, Portugis pun melancarkan serangan demi serangan. Namun, kekuatan angkatan laut Aceh saat itu mampu menghalaunya. Sampai-sampai Portugis mengubah taktik dari penggunaan kekuatan militer menjadi embargo ekonomi.

Kekuatan politik Kesultanan Aceh sempat agak mundur saat Sultan Ali Mughayat Syah wafat dan digantikan oleh putranya, Sultan Shalahuddin (1530---1537). Sultan baru ini dipandang terlalu lemah terhadap Portugis hingga membiarkan mereka melakukan misionarisasi di kalangan orang Batak dan pantai Timur Sumatra. Kondisi inilah yang melatari kudeta kekuasaan oleh saudara Sultan Ali yang kemudian digelari sebagai Sultan Alauddin Ri'ayat Syah al-Qahhar (1537---1568).

Pada masa inilah Kesultanan Aceh mengalami kejayaan. Pasukan militernya berhasil mengusir Portugis dari bumi Aceh, bahkan Kesultanan terus menggencarkan dakwah dan jihad ke wilayah-wilayah kerajaan Hindu serta mengonsolidasi diri dengan kesultanan-kesultanan Islam di nusantara. Tidak heran jika wilayah kekuasaannya terus meluas hingga ke Johor, Penang, Perak di semenanjung Malaya.

Saat itu, Kesultanan Aceh pun diketahui memiliki hubungan politik dengan Kesultanan Islam di India dan Persia. Bahkan pada masa itu, Kesultanan Aceh pun intens melakukan komunikasi politik dengan pusat Kekhalifahan Islam di Turki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline