Lihat ke Halaman Asli

senopati pamungkas

Hubbul Wathan Minal Iman

Suka Duka Pembelajaran Daring di Tengah Pandemi

Diperbarui: 23 Juli 2020   17:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

Maret 2020, Indonesia mulai terjangkit wabah mengerikan COVID-19. Hingga Rabu (22/7), total pasien terkonfirmasi positif di Indonesia telah mencapai 91.751 orang. Banyak sektor kehidupan yang terganggu akibat virus mematikan yang sampai saat ini belum ditemukan anti virusnya.

Guna penanganan dampak COVID-19, pemerintah banyak menggelontorkan bantuan sosial untuk mencukupi kebutuhan hidup masyarakat. Mulai dari Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Pemerintah Pusat, Jaring Pengaman Sosial (JPS) dari Pemerintah Daerah Provinsi, Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Pemerintah Daerah Kabupaten dan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) dari Pemerintah Desa, serta masih banyak lagi lainnya seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) Perluasan dan Program Keluarga Harapan (PKH) Perluasan yang berasal dari Kementerian Sosial.

Tak hanya itu, termasuk bidang pendidikan, juga terkena dampak dari COVID-19. Siswa diberbagai penjuru di wilayah Indonesia melakukan pembelajaran dari rumah hingga batas waktu yang tidak ditentukan sampai keadaan semakin membaik. Semua instansi pendidikan menerapkan pembelajaran online (daring) dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.

Mulai dari anak usia dini hingga mahasiswa melakukan pembelajaran secara daring. Memang sistem pembelajaran daring sangat efeketif dalam kondisi saat ini agar peserta didik tidak ketinggalan materi. Akan tetapi, di samping keefektifan tersebut, juga menimbulkan masalah baru bagi masyarakat miskin di Indonesia. Dan anehnya, masyarakat di Indonesia kebanyakan memiliki mental miskin, yang berteriak ketika tidak mendapatkan bantuan.

Bagi orang yang berkecukupan, mungkin tidak ada penghalang dalam pelaksanaan metode daring untuk pembelajaran. Karena mampu membeli gadget dan jaringan internet (wi-fi) dengan mudah. Bagaimana dengan orang yang di bawah standar (baca : miskin)? Belum lagi ketika mereka yang gaptek dan belum menguasai jaringan internet.

Mungkin mereka akan semakin terbebani dengan pembelajaran metode daring ini. Selain gadget mereka yang tidak layak, mungkin mereka juga akan kebingungan dalam jaringan internet. Jangankan untuk membeli gadget dan jaringan internet, untuk makan pun mereka susah. Apakah harus mengorbankan pendidikan dengan keadaan mereka yang pas-pasan atau bahkan di bawah standar karena keadaan semacam ini?

Tulisan ini saya buat setelah saya mendengarkan curahan hati tetangga, yang kebetulan dari kalangan ekonomi lemah. Untuk kebutuhan kesehariannya saja mereka kesulitan. Anak-anak mereka bisa sekolah karena memang ada program tanpa biaya dari lembaga pendidikan.

Mungkin perlu dicari solusi yang dapat mengatasi ketimpangan tersebut. Apakah dengan dilakukan sistem shift atau pembelajaran tatap muka secara berkelompok dengan tetap mematuhi protokol penanganan COVID-19, agar transfer knowledge dapat diterima secara maksimal oleh peserta didik meskipun dalam keadaan seperti saat ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline