Lihat ke Halaman Asli

selfia mauliani

saya mahasiswa pendidikan sejarah yang aktif menulis cerita fiksi di platform online

Malaria di Hindia Belanda pada Era Kolonial

Diperbarui: 14 Juni 2022   16:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Malaria merupakan penyakit paling mematikan di muka bumi ini. Penyakit ini sudah dikenal sejak 4.000 tahun lalu. Di Cina, penyakit ini sudah tercatat sejak 2.700 tahun Sebelum Masehi. Penyakit malaria dianggap sebagai salah satu penyakit yang mematikan dan bersifat masal, sehingga dipercaya sebagai penyakit yang mengurangi jumlah populasi umat manusia. 

Gambaran tentang bahaya penyakit malaria dapat dilihat pada pembangunan Terusan  Panama. Saat itu, sebanyak 22.000 orang meninggal akibat malaria dan demam kuning sehingga proyek sempat dihentikan. Ironisnya hingga saat ini jutaan orang meninggal karena malaria. Penyakit malaria sudah menjadi tantangan bagi masyarakat di dunia, mulai dari Afrika, Amerika, Eropa, hingga Asia. Tetapi belum ada yang bisa menemukan obatnya. Hingga kemudian seorang ilmuan Eropa menemukan orang Indian di Peru menggunakan kulit pohon tertentu, yang kemudian disebut pohon kina (Cinchona Calisaya) untuk menghilangkan demam, dan berhasil. Mulai dari itu, dikembangkannya pil kina sebagai penyebuhan orang sakit malaria. Hanya saja bahan bakunya sangat langka dan menjadikan harganya snagat mahal. Obat untuk malaria pun hanya terbatas. Saat itu pohon kina tumbuh alamiah dan hampir habis karena ditebangi dan tidak ada upaya penanaman pohon tersebut kembali.

Situasi semakin memburuk ketika negara Peru menyetop ekspor bubuk kina.

Karena itulah ketika kolonialisasi, Indonesia memiliki peran yang penting sebab pil kina dapat di produksi masal dan dijual dengan harga murah. Seorang ilmuan  yang bernama Franz Wilhelm Junghuhn, seorang kewarganegaraan Belanda yang lahir di Jerman disebut-sebut dalam buku-buku sejarah ilmu penetahuan, karena beliau menemukan pil kina sebagai obat malaria di Indonesia. Sebetulnya, dia bukan penemu pil kina, tetapi perintis budi daya kina yang pertama. Pada tahun 1857 Junghuhn secara resmi ditugaskan dalam pengawasan perkebunan Cinchona. Dia meneliti tempat mana yang terbaik untuk budi daya kina. Pilihannya jatuhh pada daerah pengalengan, Bandung, yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda.

Junghuhn berhasil membudidayakan tanaman kina, lebih dari itu, dia juga  berhasil memproduksi kina secara massal, padahal waktu  itu Mesir dan Inggris gagal melakukannya di Aljazair.

Pada akhir abad-19, konstribusi dari Hindia Belanda mencapai dua pertiga dari penghasilan kina sedunia. Bandung dan sekitarnya memasok sekitar 90% kebutuhan bubuk kina, bahkan sebelum Perang Dunia II. Fakta sejarah dengan  demikian membuktikan bahwa Hindia Belanda (Indonesia) sangat berperan dalam mengubah peta dunia di bidang kesehatan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline