Lihat ke Halaman Asli

Sayyidati Hajar

Perempuan Timor

Cerpen │Perempuan Cahaya

Diperbarui: 15 Oktober 2018   02:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Dokumentasi pribadi

Sudah berapa lama kau jahit semua nestapa ini? Tanyaku pada perempuan yang pada bola matanya berdesak lara. Ada air mata yang sengaja ditahan namun terpaksa mengamuk keluar lantaran pertanyaan yang kurapelkan padanya.

Bukan aku tak tahu perihal pengkhianatan satu-satunya lelaki yang dicintai perempuan itu. Bahkan anak-anak lucu, sehat, dan menggemaskan sudah dilahirkan meski perutnya harus dicakar mesin bedah berulang kali tak lantas menjadi satu diantara sekian juta ribu alasan lelaki itu untuk bersyukur. Mestinya, itu adalah jalan pengorbanan yang tak layak disebut main-main. 

Paling tidak itu menjadi cukup alasan baginya berpikir jernih. Sesakit itu perempuan mempertaruhkan hidupnya untuk sebuah kedamaian bernama "rumah tangga". Namun duka-duka masih ia sembunyikan dari riuh resah tetangga akan perilaku suaminya.

Perempuan yang kuhargai seperti menghargai ibu. Juga kucintai seperti mencintai ibu itu menangis. Baginya surga setelah ibu bapak adalah surga pada suami. Sembilu yang ditikamkan tak selalu terlihat sembilu. 

Ia belajar melipat lukanya dengan tepat, membentuknya menjadi bait doa. Sesekali malah menasehatiku agar tak bicara terlalu banyak. Sebab aku belum menikah dan tak tahu realisme kehidupan pernikahan.

"Belajarlah memasak dengan baik, juga merapikan tempat tidur, dan menyetrika pakaian," pesannya setelah puas menangis tanpa sedikit merasa laki-laki itu bersalah.

"Nan, apa menikah hanya sebatas usaha kau memastikan perut suamimu tak lapar dan bajunya licin ketika bepergian? Atau sekadar ia harus puas kau layani di tempat tidur? " tanyaku setelah kesal melihat air matanya kering dan ia seolah baik saja. Tak ada kejadian apapun sebelumnya. Dan tak ada yang kutahu sebelumnya. Termasuk tak ada yang mesti dilakukan setelahnya.

 Cepat-cepat ia berisyarat agar aku tak menanyakan hal-hal konyol lain tentang pernikahan. Kesucian pernikahan harus dijaga dari gunjingan di warung kopi saat bertemu sahabat baik. Tak boleh terdengar. Kesucian pernikahan harus dijaga dalam doa-doa di tempat ibadah. Menempatkannya dalam posisi terbaik dari masing-masing hati.

Sejatinya aku tak pernah keberatan pada prinsip hidup mulia yang dipegang teguhnya dalam menjalani pernikahan. Toh, benar apa yang ia sampaikan. Persis yang tertulis dalam kitab suci dan digemakan para pemuka agama. Yang aku imani, juga yang ia imani. Tapi siapa yang bertanggung jawab atas luka perempuan itu?

Perempuan terbaik yang masakannya sanggup mendapat angka sempurna. Perempuan terhangat yang hadirnya dinanti keluarga. Perempuan tertulus yang cintanya memenuhi rumah tangga. Perempuan sempurna yang lakunya tak jauh dari agama. Sampai di sini rasanya aku yang tak sanggup bicara. Harusnya lelaki itu beruntung. Tapi pada kenyataannya tidak.

"Nan, apa kau bahagia?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline