Lihat ke Halaman Asli

Penyair Manikebu Ini Diusir Karena Satu Hal: Membaca Puisi!

Diperbarui: 24 April 2016   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pikiran-rakyat.com"][/caption]Simposium nasional yang diselenggarakan untuk membuka tabir gelap sejarah bangsa Indonesia tahun 1965 telah diselenggarakan di Hotel Aryadutha Jakarta, 18-19 April 2016 lalu. Acara akbar tersebut mengundang tokoh nasional, pejabat pemerintahan, pelaku sejarah, anak pahlawan revolusi, sejarawan, kalangan militer atau purnawirawan, perwakilan NU dan Muhammadiyah, aktivis HAM dan terpenting adalah mereka yang disebut dengan “korban” peristiwa 1965. Dalam sejarahanya hingga kini, penyebutan “korban” menjadi kata yang tidak tunggal interpretasinya dalam peristiwa tersebut.

Karena kedua pihak yang terus beroposisi simetris dalam sejarah bangsa sampai saat ini, tetap bersikukuh dalam pendiriannya. Bahwa istilah “korban” pelanggaran HAM berat dalam sejarah 1965, tidak hanya para anggota PKI, underbow-nya dan masyarakat biasa yang “dituduh” PKI, tetapi juga para kyai, santri, ustad dan anggota PSI dan Murba yang dibantai oleh “Pemuda Rakyat” yang notebene PKI, sebelum 1965, ketika PKI sedang mesra-mesranya dengan pemerintah Orde Lama.

Istilah “korban” sedang dan akan terus diperebutkan memang oleh pihak-pihak yang tak mau cacat narasi besar sejarah kelompok atau golongannya. Walaupun Gus Dur telah meminta maaf mengatasnamakan NU kepada “korban” 1965, tapi bagi seorang Pramoedya Ananata Toer tak serta-merta membukakan pintu maafnya, bahkan meresponnya dengan mengatakan “omong-kosong saja rekonsiliasi” (lihat wawancara Pram di Forum Keadilan, 26 Maret 2000). Alhasil cerita tak berhenti di sana.

Sisi yang berbeda diungkap dalam kesaksian mengejutkan, yang muncul di saat mantan anggota RPKAD Letjend (Purn) Sintong Pandjaitan memberikan kesaksiannya di depan para hadirin yang umumnya sudah berumur itu. Tepat di depan orang-orang yang dituduh PKI dan yang sudah dirampas kebebasannya pasca 1965. Sintong mengatakan di wilayah Jawa Tengah, hanya ada 1 orang saja korban dibunuh, tak lebih. Tentu bertolak belakang dengan tulisan para sejarawan dan pemikir Barat seperti Ben Anderson yang mengatakan total korban pembantaian antara 500.000-1.000.000 orang. Sangat tidak mudah memang meluruskan sejarah kelam bangsa ini, khususnya peristiwa sebelum 1965 dan setelahnya.

Tak ingin berlama-lama menyelami jauh sejarah kelam 1965 dengan berbagai narasinya yang kompleks dan kronis itu, mari kita tengok sebuah kejadian yang bagi saya “memalukan” sekaligus “memilukan” di hari ke dua simposium berlangsung, tepatnya Selasa, 19 April 2016. Cerita bermula di saat sastrawan besar yang dimiliki bangsa ini “diusir” dari arena simposium. Ya, begitulah kenyataan pahit yang dihadapi seorang Taufiq Ismail. Saya sengaja menggunakan tanda petik untuk kata “diusir”, karena diksi diusir ini seolah-olah bermakna buruk, tak berguna, pengganggu alias hama untuk sekelas sastrawan besar, tokoh dan seseorang yang mendapatkan gelar doktor honoris causa, gelar kehormatan yang diberikan pula oleh kampus terhormat (UI). Sastrawan gaek ini disuruh pergi dengan paksa oleh (sebagian) peserta simposium dan atau panitia.

Apalah sebab sehingga penulis syair “Karangan Bunga” ini dipaksa berhenti membacakan puisinya di depan peserta simposium dan disuruh keluar oleh (sebagian) peserta dan panitia? Jawabannya adalah hanya satu tindakan “dosa” yang dia lakukan yaitu karena Taufiq Ismail membaca puisi! Ya, Taufiq diminta keluar ruangan karena membaca puisi. Membaca puisi pada hari Selasa siang itu menjadi hal terlarang di ruangan yang berisi orang-orang terhormat, yang katanya sedang berikhtiar membuka luka sejarah 1965.

Awalnya pembacaan puisi berjudul “Angka-angka” itu berjalan dengan baik, tak ada tanda-tanda keributan akan terjadi. Walaupun jika mendengar prolog oleh MC di awal sesi yang mengatakan akan “ada kejutan” dalam simposium di hari kedua ini. Mungkin saja kejutan tersebut bukan berupa seorang kakek tua yang membaca puisi di depan orang-orang yang pernah bermusuhan dengannya, yang baginya orang-orang ini disebut sebagai Komunis atau antek Komunis atau Komunis Gaya Baru (KGB) atau bahkan mantan seniman-sastrawan Lekra. Tapi ternyata kejutan itu adalah sebuah pengusiran seorang tua yang tengah membaca karya sastra.

Publik tahu sudah sedari awal Taufiq Ismail menjadi sosok penyair yang terus berseberangan dengan ideologi Komunisme ini. Khususnya bagi mereka yang bergiat di palagan sastra, pasti lebih mafhum atas sikap Taufiq ini. Bermula sebagai penyair muda yang ikut mendirikan Manikebu (Manifesto Kebudayaan, berdiri pada 17 Agustus 1963) yang beranggotakan para sastrawan dan budayawan dengan prinsip universal “Seni untuk Seni” atau “Seni Bukan untuk Politik”. Manikebu berdiri konfrontatif secara ideologis dengan kelompok para jago sastra lainnya yang lebih dulu dibentuk, yakni Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, berdiri pada 17 Agustus 1950). Prinsip berkebudayaan bagi Lekra adalah bahwa “Politik Sebagai Panglima” atau “Seni untuk Politik”. Dan Pramoedya Ananta Toer berdiri sebagai jagonya.

Polemik budaya dan sastra rentang 1962-1965 ini makin memuncak ketika Pramoedya (dengan nama samaran Abdullah SP) menulis di Harian Bintang Timur tentang kritik sastranya terhadap karya Hamka, “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk”, yang dituduh sebagai karya plagiasi oleh Pram. Hamka seakan-akan menjadi pencuri, pencontek, miskin ide, kering kreasi dan lemah otak. Lebih lanjut lihat buku karangan Muhidin M. Dahlan, “Aku Mendakwa Hamka Plagiat, Skandal Sastra Indonesia 1962-1964" (2011).

Benar-benar judul buku yang berani. Tapi inilah alam akademis, intelek, demokrasi. Apalagi niatnya ingin meluruskan sejarah sastra nasional. Palagan sastra kita kusut dibuatnya. Koran Bintang Timur yang berhaluan kiri ini menelanjangi Hamka terang-terangan. Klaim dan vonis bagi Hamka, bahwa roman beliau adalah karya hasil contekan, tiruan alias plagiat. Roman besar Hamka tersebut dituding Pram sebagai saduran, tiruan dari novel "Magdalena" karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi dari Mesir. Lebih lanjut sila kunjungi tulisan saya.

Membaca sekilas tentang cerita sejarah polemik budaya dan sastra tahun 1960-an ini, tentu kita akan langsung menarik benang merahnya bahwa polemik sastra yang terjadi sangat dipengaruhi oleh pertarungan ideologi dan kepentingan politik praktis di era Orde Lama Soekarno. Pastilah bisa ditebak, dimana posisi tegak seorang Taufiq Ismail? Jawabannya adalah di samping Hamka tentunya. Bersama HB Jassin, Trisno Sumardjo, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, dll.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline