Lihat ke Halaman Asli

Filantropi - Proksemik

Diperbarui: 9 April 2017   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sering kau bertanya, sejauh mana kesetiaan. Sering kau menguji, sekuat apa tekad. Sering kau berharap, sebesar alam semesta. Bahkan sering kau mengeluh, seolah-olah dirimu bagai buih di lautan.

Mata menuntunku datang kepadamu, tanpa alasan dan tanpa intruksi langkah kaki terus menghampiri. Aku tak pernah berpikir untuk bisa sedekat itu, hanya karena besarnya rasa untuk tahu namamu. Teman menjadi gerbang menuju singgahsana hatimu, meski jauh aku melihat ruang itu masih tertutup kabut pekat tak berujung.

Rasa ingin tahu yang kuat dan tindakan yang tepat tidak pernah berkhianat. Aku yang dulu pernah terabaikan, bahkan belum tentu keberadaan ini kau sadarkan. Kini, ada ikatan yang bisa dikatakan sebagai implementasi perasaan. Bibit yang tidak sengaja ditabur kini tumbuh sebagai tunas kecil yang masih rapuh. Masih ada ragu atas trauma yang penuh pilu, meski jauh di lubuk, sedikit berharap untuk maju.

Seperti kata pepatah waktu adalah pedang yang akan memotong, memutuskan, mecabik-cabik tanpa pandang bulu dan tanpa ragu. Itu terjadi padaku, yang selalu lengah dan tidak peka dengan waktu. Pernah kalap datang karena khilaf, karena dampaknya hampir meluluh-lantahkan segalanya. Aku yang belum tahu sedikitpun tahu tentangmu, bahkan untuk saling sapa saja kita masih ragu, tapi seolah-olah aku yang lebih tahu melebihi ayahmu.

Cukup.

Bodoh itu bagianku.

Kau bilang pernah tergores pecahan kaca, lalu menoleh padaku dengan tatapan tajam. Aku termenung dan angan terus melambung. hati bertanya apakah itu salahku?. Pernah kau diam seakan aku adalah batu, mungkin perasaanku saja atau memang kau pun begitu?. Saat itu, kita adalah goresan luka yang terlalu sibuk merasa tanpa sadar luka terus menganga.

Adil?

Itu untukmu, bukan bagianku.

Waktu menuntut untuk hilangkan takut. Aku yang tak sabar, terus berusaha untuk sebuah kabar. Pada kenyataanya, diam adalah bentuk pertahanan terkuat yang pernah ada di dunia. Senjata dan strategi perang sehebat apapun belum tentu bisa membongkar pertahanan itu. Diam bukan emas, tapi bom waktu yang sampai gilirannya tiba dia akan meledak.

Linimasa selalu bertanya, apa yang anda pikirkan sekarang. Tanpa mau tahu bahwa akun yang ditanya sedang meratap luka. Beranda sosial media terus mengumbar kemesraan semu dari setiap penggunanya, tak jarang dari mereka sedang menabur garam pada luka untuk orang yang mengecewakannya. Bisa saja itu melegakan, atau mungkin hanya manipulasi ketidakberdayaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline