Lihat ke Halaman Asli

Fransiskus Sardi

Lulus dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Program Filsafat

Memento Mori: Jalan Menuju Kesadaran

Diperbarui: 11 November 2022   06:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bangunan di Kota Yogyakrta, Dokpri. Fransiskus Sardi (2022)

Bagaimana Anda mempersiapkan waktu kematianmu? Suatu hari Anda akan mati. Pasti! Semesta telah membuktikannya, dan sekarang di seluruh dunia dan di Indonesia juga, sudah ada banyak orang pergi mendahului Anda dan saya dengan dalih makhluk renik bernama covid-19 sebagai penyebabnya. 

Entahlah! Saya hanya ingin menegaskan bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan. Keduanya adalah dua putera dari satu bumi. Tak terpisahkan! Kematian, rasanya mengerikan dan menakutkan. Lebih parah lagi, ketika masih ingin menikmati indahnya semesta, tiba-tiba harus beralih ke dunia lain --  ajal menjemputmu -- seperti syair sebuah lagu. Sesak rasanya di dada.

Mati! Kata yang menakutkan dan juga membuat orang selalu was-was. Tidak pasti kapan akan terjadi yang pasti hanyalah sebuah kepastian akan terjadinya kematian. Kematian ibarat gema dari kehidupan yang tidak pernah berhenti membuntut. Walau banyak yang ingin berlari dan menghindar tapi toh akan tetap ditaklukan dan dikalahkan oleh kematian. 

Ketakutan terhadap kematian adalah ketakutan terhadap kehidupan, karena hidup selalu melekat dengan kematian. Keduanya berjalan beriringan, dan yang pasti kematian adalah adiknya kelahiran -- kehidupan. Mungkin demikian rantai dan siklusnya!

Epictetus, dalam Discourses mengisahkan bahwa para Jendral Romawi yang merayakan kemenangan pasca perang sering mendengar bisikan yang bisa dikatakan sebagai peringatan -- 'memento mori (remember thou must die)'. Frasa ini sederhana, tapi menyurat dan menyiratkan makna nan menukik. 'Hewan mati, teman mati, dan dirimu sendiri juga akan mati' tapi satu hal yang saya tahu tidak pernah mati, kisah tentang orang mati; selalu abadi.

Rasanya mengerikan kematian itu. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus menerimanya sebagai bagain dari ziarah perjalanan. Kematian adalah cover terakhir dari sebuah 'buku' perjalanan hidup manusia yang diawali dengan cover depan (kelahiran). Setiap perziarahan; suka duka, adalah lembaran-lembaran kisah yang mewarnai perjalanannya. 

Saya terharu ketika membaca sebuah berita yang ditulis dalam sebuah edisi Majalah Hidup. Dikisahkan bahwa ada beberapa orang-orang tua yang melakukan meditasi kematian, dengan cara masuk dalam peti mati; menjadi orang mati sehari. Rasanya sangat mengerikan, tetapi sebenarnya memberikan arah dan pedomaan untuk menjadi pribadi yang lebih baik!

Hal yang serupa juga ditemukan dalam tradisi Buddha, meditasi tentang kematian menjadi sangat familiar. Bahkan ada pepatah mengafirmasi "dari semua jejak kaki, jejak kaki gajahlah yang tertinggi. Begitu pula, dari semua meditasi pikiran, meditasi atas kematian adalah yang tertinggi." Meditasi akan kematian menjadikan manusia sadar bahwa hidup ini singkat dan sungguh disayangkan jika tidak dijalani dengan baik.

Sebuah penelitian dari University of Kentucky menjelaskan bahwa "memikirkan tentang kematian membuat manusia berorientasi ke stimulus yang menyenangkan secara emosional." Penelitian yang dilakukan oleh C.Nathan DeWall dan Roy F. Baumeister tersebut menemukan bahwa "hal ini terjadi di luar kesadaran kita, fakta yang berkontribusi terhadap kegagalan seseorang memprediksi seberapa cepat mereka akan pulih dari kejadian yang tidak menyenangkan. 

Fakta membuktikan bahwa respon yang umum terhadap perenungan kematian adalah orientasi sadar terhadap pemikiran yang menyenangkan." Artinya permenungan akan kematian tidak melahirkan bayangan ketakutan, tetapi pada sebuah kesadaran metafisis, yang menghantar pada penghormatan nila-nilai luhur kehidupan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline