Lihat ke Halaman Asli

Sapti Nurul hidayati

Ibu rumah tangga

Upaya Mewujudkan Akses Kesehatan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas Termasuk Orang Dengan Kusta

Diperbarui: 23 Juli 2021   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Publik KBR, Akses Kesehatan Inklusif Bagi Penyandang diabilitas termasuk orang dengan kusta (doc.KBR)

Kusta merupakan penyakit kulit yang jarang dijumpai. Namun demikian, di beberapa daerah di Indonesia angka kejadian penyakit ini masih tergolong tinggi. Meskipun termasuk kategori penyakit kulit yang tidak mudah menular dan bisa disembuhkan, namun penyakit ini memiliki stigma negatif di masyarakat. Dicap sebagai penyakit yang mudah menular, tidak dapat disembuhkan, bahkan dianggap sebagai penyakit kutukan.

Adanya anggapan yang keliru ini mengakibatkan orang yang menderita penyakit kusta menjadi  tersisih dan mengalami diskriminasi. Kondisi ini berdampak buruk bagi upaya untuk menekan angka kejadian penyakit kusta itu sendiri. Karena banyak yang mengalami gejala kusta kemudian menjadi enggan untuk mengakui dan  memilih untuk menutup diri. Akibatnya penyakitnya semakin parah dan berisiko mengalami kecacatan akibat organ tubuhnya mengalami mutilasi.

Salah satu diskriminasi yang diterima oleh para penyandang disabilitas terutama karena kusta adalah akses untuk memperoleh layanan kesehatan. Hal ini juga dialami oleh para penyandang kusta, dan orang yang pernah mengalami kusta(OYPMK).  Padahal hak untuk dapat mengakses layanan kesehatan adalah hak setiap warga negara yang dijamin undang-undang. Di mana dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin  ketersediaan fasilitas layanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang disabilitas, agar mereka dapat hidup mandiri  dan produktif secara sosial dan ekonomi.

Adanya diskriminasi terhadap golongan ini tentu menjadi keprihatinan tersendiri. Apalagi menurut data dari Bappenas tahun 2018, ada 21,8 juta atau sekitar 8,26% penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas.  Oleh karena itu perlu  upaya untuk mewujudkan kemudahan akses  layanan kesehatan inklusif  untuk para penyandang disabilitas termasuk orang dengan kusta.

Berkaitan dengan hal tersebut, ruang publik KBR bersama dengan NLR Indonesia menyelenggarakan diskusi bertajuk " Akses Kesehatan Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas termasuk Orang Dengan Kusta" yang diselenggarakan hari Kamis, 22 Juli 2021 lalu.

Acara tersebut disiarkan secara live di 100 jaringan radio KBR di seluruh Indonesia yang ada di Aceh sampai Papua dan di 104,2 MS Tri FM Jakarta.  Bisa juga diikuti melalui live streaming  via website kbri.id atau youtube channel  Berita KBR. Kebetulan saya menyimak diskusi ini  melalui live sreaming Yutube.

Dalam diskusi yang dipandu oleh Ines Nirmala ini, dihadirkan dua orang nara sumber yakni Bapak Suwata dari Dinas Kesehatan Kabupaten Subang dan Mas Ardiansyah, seorang aktivis kusta sekaligus ketua dari organisasi Permata. Acara yang berlangsung cukup singkat dan padat ini memberikan banyak insight positif bagi pendengar terutama dalam memandang penyakit kusta dan penderitanya.

Nara sumber & pemandu acara ruang publik KBR (doc.pri)

Masalah Utama Penderita Kusta

Dalam paparannya mengawali sessi diskusi kali ini, Bapak Suwata menyampaikan kondisi atau gambaran permasalahan kusta khususnya di Kabupaten Subang. Menurut Pak Wata, "Penyakit kusta adalah penyakit kulit menular yang menimbulkan permasalah kompleks  dan menimbulkan kecacatan ganda baik sensorik maupun motorik bagi penderitanya".

Di mana penyakit kusta ini menimbulkan stigma di masyarakat sehingga memunculkan diskriminasi di bidang kesehatan, pendidikan, maupun lapangan kerja bagi penderitanya. Di Kabupaten Subang  sendiri, kusta masih menjadi masalah yang serius dengan adanya angka prevalensi kecacatan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, diantarnya :

  •  Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang kusta, sehingga ketika bergejala tidak segera memeriksakan diri.
  •  Pemahaman yang keliru tentang kusta yang berdampak pada pemberian stigma dan diskriminasi yang menyebabkan penderitanya menutup diri dan enggan berobat.
  • Kesiapan tenaga kesehatan untuk deteksi dini yang masih terbatas, sehingga banyak pasien ditemukan dalam kondisi parah.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline