Lihat ke Halaman Asli

Santi Lisnawati

Ibu rumah tangga, dosen. Boleh berbagi tentang pendidikan

Bumiku Pijak, Keluar dari Bumi

Diperbarui: 17 Juli 2016   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Mah, bagaimana bisa keluar dari Bumi? Pertanyaan yang berulang ditanyakan oleh  anak umur 4 tahun.

Pertanyaan yang spontan, meski sering diucapkan. Aku tidak heran mengapa pertanyaan itu menyembul di otak anakku yang bungsu. Karena beberapa kali dia melihat tayangan video tata surya, dan menanyakan kepadaku nama-nama benda yang bergerak di video itu. Aku menyebutkannya kadang sembarang, namun yang hafal dan akrab dengan ku, itulah bumi. Berbeda dengan benda lain, bumi berwara biru. Aku ceritkan bahwa bumi banyak mengandung air, dan air itu adalah sumber kehidupan utama bagi makhluk hidup. Anak sekecil itu entah paham atau tidak aku rasa tidak masalah.

Kebiasaan berfikir yang terbalaik dan melawan arah fikir inilah yang membuat bahasa anak ini berbeda. Saat cerita bumi, maka dia akan berfikir bagaimana keluar dari bumi.  Begitu pula saat bermain, misalnya saja main tanah, aku bilang “di tanah banyak cacing” ringan anak itu akan menjawab, “aku mau cacing”.   Ku rasa dia menjawab demikian untuk mempertahanan apa yang dilakukannya agar tidak cepat berlalu. Saat main diluar panas terik, aku katakan, “main diluar panas, ayo masuk ke dalam”. Bisa dibayangkan dia akan jawab apa untuk mempertahankan kemauannya. Yap. “aku mau panas-panas”.

Tidak begitu banyak menarik dari kebiasaan itu, karena mungkin masih dini, dan juga pola jawaban yang sudah bisa ditebak. Tetapi ada hal yang ikut terpikir dibenakku saat bicara bumi. Tempat kehidupan ini berlangsung. Tempat bersemayam jasad kaku di dalamnya, karena ruh tentu telah lepas entah ada dibagian mana.

Kehidupan menghadiran kesenangan, kebahagiaan, kesedihan, kemalangan dan bermacam perasaan menyertai setiap lakon dalam hidup ini. Di bumi, tempat segala amal terkumpul untuk bekal perjalanan. Karena bukan bumi tempat akhir dari kehidupan manusia ini. ada perjalanan panjang yang menetukan kebagiaan dan penderitaan abadi.  Maka siapa pun berharap kebahagiaan yang abadi.

Hidup setelah mati, sesuatu yang sangat misteri. Aku membayangkan bisa berjumpa dengan orang-orang yang aku kenal dalam kebahagiaan. Entahlah apa yang dilakukan di sana. Sangat tidak mudah difahami, yang pasti dunia ini jembatan, kehidupan yang singkat untuk menuju keabadian. Segala amal akan ditentukan balasnnya di akhir nanti.

Tentu di antara kita tidak ada yang memiiki amalan yang seragam. Sehiangga nanti jika diperhitungkan amal akan masuk pada tempat yang sama. Ya, tentu tidak sesederhana memesan tiket nonton bioskop, yang bisa tentukan tempat mana  kita bisa duduk bersama.

Setiap kita berbeda. Beramal yang serupa pun belum tentu mendapat balasan yang sama.  Beramal banyak pun belum tentu akan dapat membayar syurga. Karena syurga tidak berlabel harga sepersekian amal. Sungguh tidak bisa dapat kita prediksikan amal dan balasan dari semua apa yang kita kerjakan, kecuali mengharap keridhoan dari yang Maha memiliki segalanya. Allahu Robbii… 

Menerawang jauh, bumi tempat yang kini bisa kurasakan hembusan udara, tetesan air dan hiruk pikuk kehidupan. Hal yang sama dapat dinikmati setiap yang bernyawa. Yang membedakan di antara kita, seberapa besar tanda syukurmu atas semua ini.

Khayalku, anakku…

Terbang tinggi ke atas sana, kau akan keluar dari bumi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline