Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yunus

Kemandirian Pilar Dalam Kebersamaan Saling Berpadu

Setelah Ditebas, Dibakar dan Dijual

Diperbarui: 13 September 2016   01:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan ini adalah pengalaman penulis ketika melihat lokasi yang berada di pedalaman Kab. Solok Selatan, Propinsi Sumatera Barat. Lokasi yang sebelumnya adalah hutan belantara. Untuk dapat masuk dalam lokasi yang luasnya 200 Ha membutuhkan perjalanan dari Kota Padang 1 hari 1 malam. Untuk sampai ke lahan membutuhkan alat transportasi motor trail atau modifikasi. Sebab tiada jalan aspal, masih jalan tanah dengan timbunan batu koral.

Pembukaan lahan, awalnya berasal dari perkebunan yang mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan tanaman industri. Biasanya adalah para pemodal yang mendapatkan izin dari bupati, kemudian kementrian kehutanan. Biasanya konsensi luas hutan diatas 500 Ha. Tahap awal untuk menjadikan ladang sawit atau getah. Hutan perawan ditebas untuk mendapatkan kayu berkualitas tinggi. Biasanya pemilik perusahaan akan menyewa masyarakat terdekat untuk melakukan penebasan.

Persoalan kongkolikong, suap menyuap dalam jajaran aparatur adalah permainan kasat mata. Sedangkan dari sisi masyarakat, selain mendapatkan upah maksimal IDR 1,5 juta untuk satu hektar. Ada kesempatan untuk membuka lahan sendiri. Mengikuti ruang gerak dari perusahaan membuka perkebunan sawit. Sebab dalam keputusan Hak Pengelolaan Hutan tanaman sawit disyaratkan untuk membentuk petani plasma.

Selain masyarakat transmigrasi yang mendapatkan konsesus plasma sawit seluas 2 Ha/KK. Masyarakat sekitar yang berada dalam satu Kecamatan dan Kabupaten biasanya tidak mendapatkan hak plasma. Sebab merupakan tanah adat dan ulayat masyarakat. Untuk melakukan percepatan penanaman sawit, setelah penebangan dan pengambilan kayu golondonngan. Maka sisa tebangan dibiarkan mengering.

Proses menunggu kering ranting pohon dan pohon kecil, masyarakat biasanya memulai menebangi bagian yang akan ikut dalam penanaman sawit. Bila kelompok masyarakat ini tidak memiliki dana untuk menanami dengan tanaman sawit. Maka pilihan meraka adalah menebangi hutan untuk cakupan luas untuk dapat dijual kepada masyarakat yang ingin memiliki ladang sawit.

Sebab, harga hutan yang telah ditebangi dan ditebas, berkisar Rp. 20 juta/ha. Bila tidak terjual secara keseluruhan. Maka kelompok masyarakat penebang hutang membiarkan tumbuh semak dan batang pohon perintis. Sebab butuh waktu panjang untuk bisa menjual secara keseluruhan. Soal perizinan, akta jual beli dan juga sesuatu yang ilegal menjadi legal bisa dikompromikan, selama pembeli mengikuti alur yang patut.

Waktu penulis meninjau lokasi seluas 200 Ha, ketua masyarakat dan tokoh ini tidak mau menjual secara kaplingan. Sebab tidak bisa melegalkan proses legal. Sebab banyak pos-pos yang mesti diselesaikan. Waktu peninjauan lokasi telah tumbuh berbagai jenis pohon sebesar betis. Untuk pembersihan lahan, biaya yang diminta adalah sebesar IDR 1,5/Ha, termasuk pembakaran untuk mempercepat penanaman sawit.

Dilingkaran tanah 200 Ha, sebagian telah ditanami sawit oleh beberapa perusahaan dan juga pekebun mandiri yang memiliki modal cukup. Sebab untuk dapat menanami satu hektar lahan sawit minimal membutuhkan investasi IDR 50 juta. Mulai dari membeli lahan, menebang, membakar, membeli bibit dan meletakkan pekerja selama 5 tahun, sampai sawit berbuah.

Bila mengikuti prosedur tanpa pembakaran, maka dibutuhkan biaya yang lebih besar untuk menjadikan 1 Ha lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Pilihan ini menjadi dilema bagi yang ingin berkebun sawit. Kecuali bagi pengusaha yang disokong oleh dana perbankan. 

Persoalan kebakaran hutan dan lahan, pemantik awal adalah pemberian izin pengelolaan hutan menjadi perkebunan. Hal ini adalah permainan tingkat kementrian terutama kementrian kehutanan. Kemudian berlanjut sampai tingkat pemerintahan kabupaten. Selama ini izin dan zonasi kawasan adalah data yang tidak terpublikasi umum bagi masyarakat. Hanya orang dekat lingkaran kekuasaan, partai politik yang mengetahui seluk beluk tentang penetapan kawasan hutan.

Sedangkan masyarakat biasa, hanya menikmati sedikit dari kue bisnis perkebunan. Baik sebagai petani plasma, petani mandiri maupun sekedar bekerja menebas hutan dan membakar dengan bayaran perhektar yang tidak sebarapa. Sering yang menjadi korban adalah masyarakat secara keseluruhan, teruama kabut asap dari pembakaran lahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline