Lihat ke Halaman Asli

Sandi Novan Wijaya

Calon Diplomat

Sinyal Kuat Reformasi DPR dalam Penghapusan Parliamentary Threshold

Diperbarui: 3 Maret 2024   19:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pro dan Kontra Pemilihan Umum Parliamentary Threshold (Edmond Dants from Pexels).

Isu politik kembali bergulir seiring dengan pembahasan tentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tertuang dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Sejumlah persoalan mengemuka dan bergeliat menjadi opini publik yang menarik diperbincangkan di mana-mana. Salah satu bola panas perbincangan tentunya ialah soal penghapusan ambang batas parlemen sebesar 4% suara sah nasional.

MK menilai ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4% suara sah nasional yang diatur di dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, serta melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.

Sebagian pihak menilai putusan MK tersebut sudah tepat, sedangkan pihak lainnya menyatakan keberatannya dengan menganggap bahwa penentuan angka ambang batas parlemen merupakan kewenangan membentuk UU.

Mekanisme parliamentary threshold atau ambang batas parlemen pada dasarnya lebih berpeluang menguntungkan partai-partai besar yang sudah cukup mapan.

Selain itu, pemberlakuan ambang batas parlemen akan menimbulkan ketimpangan antara partai lama dan partai baru. Pasalnya, dalam hal mewujudkan, mengkampanyekan, dan mensosialisasikan visi dan misi partai sangat terbatas dan umumnya hanya berlangsung dua tahun sebelum pemilu.

Partai baru selalu disibukkan dengan persyaratan administrasi yang menguras waktu dan memakan energi. Aturan ambang batas parlemen juga berdampak pada terbuangnya suara pemilih pada partai-partai yang tidak mampu melampaui persentase minimal ambang batas parlemen.

Misalnya, banyak suara dalam pemilu legislatif yang terbuang sia-sia dan tidak dapat dikonversi menjadi kursi parlemen. Jika hal itu terjadi, dampaknya adalah disproporsionalitas alokasi kursi pada sistem pemilu proporsional yang merupakan bagian dari sistem pemilu Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, maka dihilangkannya ambang batas parlemen untuk menjangkau partai dengan suara di bawah 4% untuk mendapatkan kursi di DPR sudah sangat tepat.

Evaluasi Penerapan Parliamentary Threshold

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline