Lihat ke Halaman Asli

Salwa

Mahasiswi

Bahasa memperlihatkan cara pandang unik suatu budaya terhadap realitas

Diperbarui: 3 Mei 2025   07:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga jendela untuk melihat bagaimana suatu masyarakat memahami dunia di sekelilingnya. Setiap budaya memiliki cara tersendiri dalam memandang realitas, dan cara pandang itu termanifestasi secara nyata dalam bahasa yang mereka gunakan. Karena itulah, mempelajari sebuah bahasa sebenarnya juga berarti mempelajari cara hidup dan berpikir para penuturnya.

Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat ungkapan seperti "ringan tangan" atau "besar kepala" yang memiliki makna kiasan berbeda dari arti literalnya. Ini menunjukkan bahwa orang Indonesia terbiasa berpikir secara kontekstual dan memahami makna melalui simbol serta kebiasaan sosial. Ungkapan-ungkapan ini hanya bisa dipahami secara tepat jika kita memahami budaya di baliknya.

Bahasa Inuit yang digunakan oleh masyarakat Eskimo di wilayah Kutub Utara memiliki lebih dari 50 kata untuk menyebut "salju". Ini menunjukkan bahwa bagi mereka, salju bukan sekadar fenomena alam, melainkan bagian penting dari kehidupan sehari-hari yang harus dipahami secara mendetail. Di sisi lain, bahasa Indonesia hanya mengenal satu kata: "salju", karena salju bukan bagian dari realitas sehari-hari masyarakat tropis.

Perbedaan cara pandang terhadap waktu juga tercermin dalam bahasa. Dalam bahasa Inggris, waktu dilihat secara linear: ada masa lalu, sekarang, dan masa depan. Namun dalam bahasa Hopi (suku asli Amerika), tidak ada bentuk waktu seperti dalam bahasa-bahasa Barat. Bagi mereka, realitas lebih bersifat prosesual dan tidak terbagi secara kaku, yang menunjukkan pandangan dunia yang lebih fleksibel terhadap perubahan dan keberlangsungan hidup.

Bahasa Jepang memperlihatkan pentingnya hubungan sosial dan rasa hormat dalam budaya mereka. Dengan berbagai tingkat keformalan seperti keigo, bahasa Jepang menyesuaikan gaya bicara berdasarkan status sosial, usia, atau kedekatan hubungan. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam budaya Jepang, struktur sosial dan sopan santun sangat menentukan cara seseorang memandang dan menyampaikan realitas.

Di sisi lain, beberapa bahasa pribumi di Australia memiliki orientasi arah geografis yang kuat. Mereka tidak menggunakan kata "kiri" dan "kanan", melainkan selalu menunjuk ke arah mata angin seperti "barat" atau "utara". Hal ini mencerminkan bagaimana orientasi terhadap ruang dalam budaya mereka sangat dipengaruhi oleh alam, dan membuat penutur bahasa tersebut selalu sadar akan arah dalam kehidupan sehari-hari.

Pandangan tentang gender juga tercermin dalam bahasa. Dalam bahasa-bahasa yang membedakan gender secara gramatikal, seperti Spanyol atau Arab, kata benda memiliki jenis kelamin. Ini mempengaruhi cara berpikir masyarakatnya terhadap peran gender. Sebaliknya, dalam bahasa-bahasa seperti Finlandia atau Turki, yang tidak memiliki pembedaan gender gramatikal, kesetaraan gender seringkali lebih mudah dikomunikasikan secara eksplisit.

Bahasa juga membentuk cara masyarakat mengekspresikan emosi. Dalam budaya Timur, ungkapan emosi cenderung lebih halus dan implisit, tercermin dalam bahasa yang penuh kehati-hatian dan sindiran. Sementara dalam budaya Barat, bahasa cenderung lebih langsung dalam menyampaikan perasaan. Ini menunjukkan bahwa ekspresi emosi dalam bahasa pun mengikuti nilai-nilai dan norma yang dipegang masyarakat.

Pentingnya komunitas dalam budaya-budaya tertentu juga tampak dalam pilihan kata. Bahasa Indonesia memiliki kata "gotong royong", yang tidak memiliki padanan tepat dalam bahasa Inggris. Konsep ini mencerminkan semangat kebersamaan yang menjadi nilai inti dalam masyarakat Indonesia. Ketika kata seperti ini tidak dapat diterjemahkan dengan tepat, itu menandakan keunikan cara pandang budaya terhadap hubungan antarindividu.

Dengan demikian, bahasa bukan hanya sarana teknis untuk menyampaikan informasi, tetapi juga cerminan kompleks dari cara suatu budaya melihat, memahami, dan merespons dunia. Setiap bahasa membawa sudut pandangnya sendiri terhadap realitas, dan mengenal satu bahasa berarti membuka pintu pada semesta makna yang berbeda. Maka dari itu, menjaga keberagaman bahasa berarti juga menjaga kekayaan cara pandang manusia terhadap kehidupan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline